Mangkok Merah, Cheu Fung Teu : Simbol dalam Komunikasi Mistis Orang Dayak

Ilustrasi: Budi Miank dan penulis.

Bukan mangkok merah, mangkok hadiah dari bumbu penyedap tertentu buatan Jepang itu. Ini mangkok merah sebagai simbol komunikasi di kalangan suku bangsa Dayak yang populasinya ditengarai lebih dari 8 juta jiwa pada ketika ini.

Dayak, indigenous people of Borneo. Satu, tapi bukan sama. Terdiri atas 7 stammenras (rumpun) besar. Dan sedikitnya 405 subsuku, menurut penggolongan Malinckrodt.

Namun, penduduk asli Borneo itu sama dalam hal simbol. Sehingga dapat dikatakan. Dayak adalah homo symbolicus. Karena itu. Hanya melalui upaya semiotika dan hermeneutika, esensi manusia dan budaya Dayak dapat ditangkap. Jika ingin tahu lebih dalam. Silakan baca dulu konsep dasar tentang simbol oleh 6 pakar semiotoka.

Yang paling relevan dari Barthes, mengenai sign dan signified. Tanda dan penanda. Antara bahasa dan mitos. Interaksi peran antara tanda dan penanda, dan apa yang ditandakan dapat menghasilkan tanda (sign) yang merupakan penanda (signifier) untuk sesuatu (apa) yang ditandakan (signified).

Di situlah "mangkok merah" berada! Ia bukan sekadar wadah yang kasat mata. Mangkok yang berisi darah ayam, abu, daun sabang merah. Lebih dari itu. Ia adalah simbolik-interaksionisme antara dunia bawah (manusia) dan dunia atas (supranatural). Tentu, setelah ada upacara khusus. Sebuah ritual yang tidak boleh sembarangan diadakan.

Baca IKN Pasca Jokowi : Seperti Myanmar Atau Malaysia Yang Berjaya?

Namun di sini. Narasi tentang Mangkok Merah disederhanakan. Sedemikian rupa. Sedemikian rupa, sehingga setiap orang dapat memahami makna simbol di baliknya. Topik yang telah penulis gumuli. Dan tulis di Kompas sejak saya belia. Tatkala jadi penulis pemula. Masih remaja, ketika itu. Arsip saya tentang topik "mangkok merah" ini dimuat Kompas Minggu pada 11 Maret 1984. Di bawah judul "Tindakan Preventif untuk Mengurangi Penurunan Budaya Mangkok Merah".

Pembaca yang ingin tahu latarnya, silakan menelisik tulisan seri pertama "The History of Dayak". Dimuat utuh di situ artikel dua kolom, tapi panjang itu.

Ditilik dari segi ilmu, dalam hal ini psikologi, mangkok merah, tariu, dan ngayau dalam budaya Dayak itu bukan magic 100%. Di situ ada percampuran antara primitive song (mantra) yang dinyanyikan, psikologi massa, keberanian, dan kerumunan. Sedemikian rupa, sehingga menimbulkan sebuah daya, kekuatan supranatural.

Mangkok Merah pada hakikatnya adalah sarana komunikasi antarkampung. Untuk menyampaikan berita. Akan adanya bahaya/ancaman melanda suatu kampung/komunitas tertentu.Mangkok merah tidak boleh sembarangan dimaklumkan. Ia adalah sebuah ritual.

Namun, jika mangkok merah sudah beredar, jangan coba-coba. Tak ada kata "kalah" jika melihat ada manusia berikat kepala merah, yang oleh orang Tiu Ciu di Kalimantan Barat disebut "Cheu Fung Teu". Jangan berani-berani melawan. Minimal jangan keluar rumah. 

Mangkok merah terdiri atas beberapa unsur, seperti:

  1. Mangkok
  2. Darah ayam
  3. Abu
  4. Daun kajangk
  5. Batang korek api dan
  6. Bulu ayam

Mangkok Merah disampaikan berantai dari satu kampung ke kampung lain, tidak boleh menginap. Pembawa mangkok merah yang menyampaikannya wajib menerangkan maksud mangkok merah itu kepada penerima, sehingga warga kampung dapat segera menanggapinya.

Pasal 1
Mengedarkan Mangkok Merah tidak boleh sembarangan, harus dipertimbangkan alasan-alasan yang masuk akal, dan untuk itu, perlu meminta pertimbangan tokoh/tetua adat.

Pasal 2
Mengedarkan Mangkok Merah haruslah dilandasi alasan yang kuat, yakni alasan yang menyangkut kepentingan umum serta berdampak luas pada tatanan sosial yang hakiki.

Pasal 3
Seseorang/kelompok yang mengedarkan Mangkok Merah tanpa alasan yang masuk akal, dapat dikenakan pasal hukum adat tentang Pomomar Darah karena berbohong kepada publik.

Dari pasal-pasal hukum adat mengenai “mangkok merah” dan ngayau di atas dapat ditarik simpulan bahwa haruslah ada argumen yang rasional atau dalam bahasa hukum adat setempat “alasan yang kuat, yakni alasan yang menyangkut kepentingan umum serta berdampak luas pada tatanan sosial yang hakiki“ untuk memaklumkan pekik perang. Tanda dimulainya ngayau. Ngayau pun ada pantangan dan etikanya. Nanti akan dibahas pada tulisan tersendiri.

Jalan untuk sampai pada perang itu sendiri tidak mudah, dirapatkan, dipertimbangkan masak-masak untung rugi atau baik buruknya. Sebaliknya, jika setelah dipertimbangkan tidak ada alasan yang cukup kuat dan masuk akal untuk itu. Maka seseorang atau kelompok yang mengedarkan “mangkok merah” justru dikenakan tindak hukum tentang “Pomomar Darah” karena berbohong kepada publik.

Dengan demikian, gayau tidaklah merupakan tindakan yang sembarangan, apalagi spontan. Ngayau menjadi tindakan bersama etnis Dayak. Karena itu, disebut juga dengan “tradisi”. Tentu saja, untuk memahami true conditions dari ngayau, perlu diselami apa yang menjadi motifnya.

Baca Ngayau : Dahulu, Kini, Masa Depan

Penulis pernah bertanya dan berdiskusi intens dengan sahabat, pakar psikologi dari universitas terkenal negeri ini. Kami biasa menjadi mentor bagi para calon penulis buku bacaan anak Pusat Kurikulum dan Perbukuan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Beliau dari sisi psikologi perkembangan. Penulis dari sisi teori penulisan (story telling).

Kata sang profesor. "Ditilik dari segi ilmu, dalam hal ini psikologi, mangkok merah, tariu, dan ngayau dalam budaya Dayak itu bukan magic 100%. 

Di situ ada percampuran antara primitive song (mantra) yang dinyanyikan, psikologi massa, keberanian, dan kerumunan. Sehingga menimbulkan sebuah daya, kekuatan supranatural."

Tentang bagaimana "percampuran" kekuatan dunia atas (supranatural) dan dunia bawah itu "bekerja", saya pernah mewawancarai para tetua dan pelaku. Sampel yang satu saya ambil di Jangkang. Yang satunya lagi di daerah Darit (Kanayatn). Mengapa di situ?

Sebab di situ lokus para pengayau hebat, di masa lalu. "Di sinilah, Pak, kami tariu, sebelum pergi nyerang waktu itu!" kata seorang narasumber. Tahun 2016 ketika itu. 

Baca Masa Depan IKN Dan Ancaman Percepatan Deforestasi Borneo

Penulis pernah meneliti di daerah Darit, untuk memperkaya materi novel sejarah, Ngayau. Saya ingin tahu seluk beluk tariu. Apa saja ritual yang dilakukan. Tahapan-tahapannya seperti apa? Ada percobaan juga. Orang yang yakin, silakan berangkat ngayau. Yang tidak yakin, akan terluka, waktu mencoba. Dia tidak boleh berangkat!

Mangkok Merah ke Muka
Pada era budaya baru, di mana dunia digital/virtual dahulu maya, namun kini menjadi nyata, bagaimana adat budaya dan tradisi Mangkok Merah ke muka?

Berdasarkan tata cara, materi, syarat-syarat tertentu; penulis membuat hipotesis sebagai berikut.

  1. Esensi Mangkok Merah tidak pernah hilang. Ia sarana komuikasi bukan saja horizontal, melainkan juga vertikal. Saya mengetahui hal ini dari para tetua. Bahkan, di Dataran Tinggi Borneo ada ungkapan, "Jangan sampai orang Dayak lompat dari gong!" Maknanya sangat dalam. Jika keterlaluan, ada kasus menyangkut harkat, martabat, kemuliaan, serta kehormatan orang Dayak dilanggar; maka akan terjadi hal-hal yang di luar nalar. Usahakan jangan sampai orang Dayak lompat gong! Silakan menafsirkan makna "gong" di sini.
  2. Ritual/ upacara tidak bisa dilakukan secara virtual. Harus bersentuhan langsung dengan medianya, baik alat/kelengkapan maupun kata-kata.
  3. Antara bendawi (dunia manusia/ fisik) dan supranatural harus ada kontak. Dengan demikian, Mangkok Merah tidak dapat terjadi khasiatnya melalui perantara media.
  4. Ada orang-orang tertentu yang diwarisi kemampuan. Fenomena di mana-mana: semakin langka orang yang bisa menjadi jembatan antara dunia atas dan dunia bawah, tetapi senantiasa ada petunjuknya. Ada orang tertentu, tanpa bisa menolak, dipakai sebagai perantara.
  5. Materi/bahan untuk upacara tersedia di tanah Dayak. Jika lestari hutan Borneo semakin hilang, dikhawatirkan materi/ bahan itu akan musnah pula.
  6. Mangkok Merah, sebagai signifier dan signified; tidak pernah hilang.
  7. Dayak makin bersatu justru ketika malabencana menimpa suatu klan. Hal ini berdasarkan kepada praktik penelusuran sejarah pra 1894. Di mana yang dinamakan ethnic identity akan muncul manakala ada pemicu yang menjadi pembentukan identitas dan emosi massa sedemikian lekas berimbas menjadi sebuah kekuatan massa. Sedemikian rupa, sehingga orang akan mengidentikkan diri dengan suatu kelompok/ komunitas tertentu.

Dalam narasi singkat ini, seakan-akan terkesan "Tariu" hanya khas bagian dari adat tradisi dan budaya Dayak Kanayatn. Salah satu matarantai dari ngayau (Anda bisa mendalami Tariu ini dari Edy Petebang, Dayak Sakti). Sedangkan ngayau, dapat membaca karya Masri Sareb Putra dan Amil Jaya.

Baca Patung Keling Kumang Di Tapang Sambas Dan Misteri Batang Tepus

Jika ada sebagian orang belum mafhum proses dan tahap-tahap ngayau, dan menyamakannya dengan tariu, tak bisa disalahkan begitu saja. Sebab tariu memang khas Kanayatn, di kalangan Bidayuh disebut "nosu minu" basaru' sungangat, memanggil kembali ruh para leluhur untuk minta restu turun ngagayu, dan... menang!

Kesan itu tidak salah! Sebab tariu memang bahasa Kanayatn.

Sebagai nama, tariu memang dari kosa kata Kanayatn. Tapi sebagai budaya, semua suku Dayak mengenalnya sebagai bagian, atau tahap dari ngayau. Dayak Bidayuh, Jangkang mengenalnya sebagai: nyaru' semangat, nosu minu (memanggil ruh leluhur), nampae babae nosu minu yakng bala kamang.

Dayak lain pun mengenalnya. Sebagai sebuah ritual: primitive song, psikologi massa, bercampur kekuatan magis, dunia supranatural.

Bagaimana cara bekerjanya? Usai "menggunakannya", setelah ngayau, wajib dikembalikan lagi ke keadaan normal. Jika tidak, maka akan celaka.
(Rangkaya Bada)

Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url