Etnis Tionghoa Di Sanggau : Kamponk Tionghoa (3)


SANGGAU NEWS: Gapura Kamponk Tionghoa adalah saksi sejarah. Bahwa etnis Tionghoa telah bermukim. Dan hidup di bumi Daranante - Babai Cinga sejak berabad lamanya. Sedemikian rupa, sehingga jika sehari-hari tidak bisa lagi menandai mana Tionghoa dan mana Dayak.

Tidak perlu dengan kata telah menyebut bahwa "inilah Pecinan" di bumi Daranante. Artefak, inskripsi di toapekong di Jalan Kartini, tepi sungai Kapuas, di Sanggau adalah bukti sejarah otentik. Bahwa etnis Tionghoa asal daratan Cina telah menyejarah di tempat ini sejak ratusan tahun yang lalu.

Baca Sejarah Sanggau

Ciri fisik mereka, sebagaimana dilukiskan Korrie Layun Rampan, kurang lebih sama: kulit putih, kuning langsat, badan gemuk, rambut lurus. Itu sebabnya, pada peristiwa 1967, intel menggunakan "orang dalam" untuk memata-matai dan menandai di mana demarkasi kedua etnis ini.

Tapi ini bukan soal konflik etnis yang digosok orang luar tahun 1967 yang mengakibatkan kerugian kedua etnis serta menimbulkan trauma. Ini tentang sejarah etnis Tionghoa di Sanggau. 

Sanggau, dan Kalimantan pada umumnya, penduduknya sangat terbuka dengan kedatangan etnis lain --sejauh menerapkan, "Di mana bumi dipijak di situ langit dijunjung". 

Ada kampung Jawa, Bugis, Hindu di tanah Dayak. Namun, akan ada kampung Dayak di Bali dan Jawa nantinya. 

peta Google map

Lokus Gampura, sebagai pintu masuk menuju Kampung Tionghoa di Sanggau, menciptakan sebuah citra yang menggambarkan keunikan dan keberadaan istimewa dalam keramaian Jalan Kapuas. 

Terletak persisnya di Jalan Kapuas, di tengah-tengah pusat kota, Gapura menandai batas awal sebuah lingkungan khusus yang kaya akan warisan budaya dan sejarah.

Jalan Kapuas, sebagai aorta utama yang menghubungkan Kabupaten Sekadau di Hulu dan Kabupaten Landak di hilir sungai Kapuas, menjadi saksi bisu akan peran penting Kampung Tionghoa dalam jaringan kultural dan ekonomi di daerah tersebut. Kendati menjadi titik pusat vital, akses langsung menuju Jalan Kapuas dari lokus Gampura tidaklah diperbolehkan, dengan adanya tanda larangan masuk. 

Seolah-olah, lokus ini menjadi gerbang yang memerlukan kesadaran khusus untuk memasukinya, menciptakan nuansa eksklusif dan mengajak pengunjung untuk menyelami kekayaan budaya yang tersembunyi di dalamnya.

Tanda larangan masuk tersebut menjadi metafora dari perlunya rasa hormat dan pemahaman mendalam terhadap kekayaan dan keberagaman budaya yang dimiliki oleh Kampung Tionghoa.

Pintu yang seakan tertutup, sebenarnya adalah undangan untuk memasuki dunia yang penuh dengan tradisi, seni, dan nilai-nilai yang dijaga dengan sepenuh hati oleh komunitas tersebut. Meskipun tidak dapat langsung menuju Jalan Kapuas, kehadiran Gapura membawa pesan bahwa keindahan budaya Kampung Tionghoa layak untuk dihargai dan dijaga oleh semua yang mengunjunginya.

Baca Etnis Tionghoa Di Sanggau : 130 Tahun Di Bumi Daranante (2)

Jika menikmati Kampung Tionghoa ini, kita harus masuk, jika naik kendaraan, dari arah jalan di belakang, dari jalan menyusur sungai Kapuas. Di mana dahulu kala (kini sebagian kecil) rumah-rumah toko (ruko) seluruhnya dihuni etnis Tionghoa yang adalah para toke. 

(Rangkaya Bada)

Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url