Rekam Jejak Digital Romo Profesor tentang Pemilu

 


SANGGAU NEWS : "Pemilu itu bukan untuk memilih yang terbaik, tapi untuk mencegah yang terburuk berkuasa." 

Demikian jargon, pernyataan yang sering muncul setiap Pemilu, digunakan dalam debat, retorika, atau tulisan. Oleh sebab bentuknya kalimat pernyataan (statement) maka dapat dinilai benar/salah.

Bisa menjadi bumerang

Padahal kita tahu bahwa tujuan Pemilu di Indonesia adalah untuk: Memilih presiden, wakil presiden, anggota legislatif, dan pemimpin daerah yang kompeten dan mewakili kepentingan rakyat.

Sudah tentu di dalam suatu konteks tertentu, pernyataan "Pemilu itu bukan untuk memilih yang terbaik, tapi untuk mencegah yang terburuk berkuasa" dapat disalahgunakan. Khususnya ketika dikaitkan dengan Prof. Magnis, seorang pakar filsafat moral, bisa menjadi bumerang jika calon yang maju dalam Pemilu yang beliau dukung kalah dalam arena politik.

Tujuan Pemilu sesungguhnya

Pemilu di Indonesia bertujuan untuk memilih anggota DPRD di berbagai tingkatan serta Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia. 

Pernyataan Prof. Magnis seringkali dijadikan Argumentum ad auctoritatem, sebuah kesalahan logika di mana klaim didukung oleh otoritas seseorang, bukan bukti atau argumen yang relevan. Ini menunjukkan bahwa kebenaran atau relevansi klaim bergantung pada pengaruh seseorang, bukan pada argumen kuat atau bukti.

Dalam konteks Pilpres 2024, dukungan Profesor Magnis menjadi sorotan. Apakah pilihannya mencerminkan aspirasi mayoritas masyarakat Indonesia atau berpegang pada prinsip yang tidak selaras dengan mayoritas pemilih? Ini memicu pertanyaan tentang sejauh mana kebijakan dan nilai yang dipegang oleh Profesor Magnis dapat mencerminkan harapan masyarakat.

Bansos menjadi dasar penilaian etika

Ketika berbicara tentang Bansos dan peran Prof. Magnis sebagai saksi ahli pada Sidang Sengketa Hasil Pilpres di MK, pertanyaan etis muncul jika dasar penilaian (penyalahgunaan Bansos) terbantahkan. 

Dalam kasus ini, Hotman Paris, kuasa hukum dari pihak lawan, berusaha menjelaskan dan mengklarifikasi tuduhan tersebut.

Evaluasi terhadap pilihan politik Prof. Magnis tidak hanya terbatas pada preferensi pribadinya tetapi juga pada pertimbangan mendalam dan etis. Kita mengagumi kepakaran Magnis dalam filsafat, khususnya cabang Filsafat Etika. Namun, terkait Bansos, ternyata di persidangan MK, terjadi suatu hal yang cukup "memukul" kepakaran Magnis.

Dalam demokrasi, perbedaan pandangan politik adalah hak setiap individu, namun tetap penting untuk mempertanyakan apakah keputusan seorang intelektual mewakili kepentingan dan aspirasi mayoritas? Apakah sang profesor, yang telah emeritus dan "mulai pikun" patut diajak menjadi saksi ahli terkait topik yang bukan menjadi kepakarannya?

Menjadi salah satu pertimbangan

Debat mengenai pernyataan dan pilihan politik Prof. Magnis menyoroti kompleksitas interpretasi dan aplikasi nilai-nilai dalam pemilu, serta pentingnya menganalisis konteks dan konsekuensi dari argumentum ad auctoritatem dalam diskursus politik, memang menarik.

Salut pada Romo Profesor sebagai saksi-ahli bidang filsafat etika. Memberikan keterangan, sebagai ahli, apalagi di persidangan, patut menjadi pertimbangan.

Tapi apa pun kata saksi. Juga silang pendapat dalam sengketa Hasil Pemilu Pilpres 2024 di Mahkamah Konstitusi, keputusannya ada di Hakim. Kita tunggu Keputusannya, yang mengikat. 

  • Rangkaya Bada


Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url