Perdagangan antara Kalbar dan Sarawak Naik tajam


Baru-baru ini, penulis- R. Masri Sareb Putra meninjau perbatasan Kalimantan Barat dengan Malaysia (Balai Karangan). la menyaksikan perubahan besar sejak pintu masuk perbatasan dibuka. Tertarik menyusurisisickonomis gerbang darat internasional itu, ia menulis liputannya sebagai berikut:

Pelabuhan darat internasional antara Indonesia-  Malaysia, Entikong diresmikan oleh (mantan) Pangab Jenderal Try Sutrisno tanggal 25 Februari 1991. Sementara pelabuhan serupa milik Malaysia di Tebedu (Sarawak) diresmikan Menteri Pertahanan Kerajaan Malaysia, Jenderal Datuk Tun Abdulrazak. Sejak pelabuhan darat tersebut resmi dibuka, hubungan perdagangan kedua negara menunjukkan peningkatan cukup tajam. Sebelumnya, hubungan perdagangan kedua negara memang telah ada, namun dilakukan secara gelap.

Sebegitu gencarnya perdagangan gelap itu sebelumnya, sehingga julukan "semokel" atau "mongkos" bagi warga negara Indonesia yang melakukan perdagangan gelap ke Sarawak merupakan hal yang luar biasa di Kalbar. Disebut demikian, karena "mongkos" merupakan pintu masuk yang dipakai pedagang gelap Indonesia untuk memasarkan komoditas Indonesia ke Sarawak.

Pintu masuk resmi

Setelah praktekperdagangan gelap dilakukan berpuluh tahun, akhirnya sebuah bangunan gerbang darat berbentuk rumah panjang suku Dayak (betang) berdiri di Entekong, sebuah desa kecil kecamatan Sekayam, Kabupaten Sanggau Kapuas, 320 Km sebelah utara ibukota provinsi Kalbar, Pontianak. 

Usaha Indonesia-Malaysia untuk membuka hubungan darat secara langsung dimulai sejak tahun 1967, melalui kesepakatan dasar pangaturan lalulintas penduduk perbatasan. Namun, baru pada bulan Mei 1984, kedua negara dalam sebuah pertemuan delegasi di Medan menyepakati "Persetujuan Lintas Batas antara Malaysia-Indonesia". Kesepakatan ini kemudian direalisasikan dengan memberlakukan pas lintas batas untuk penduduk kedua negara.

Bagi Malaysia, pembukaan legal entry point itu bisa jadi tidak menimbulkan masalah, meng-

ingat negeri jiran itu sudah lebih berpengalaman menangani perbatasan. Hingga kini, Malaysia telah memiliki enam gerbang perbatasan internasional, masingmasing dengan Thailand, Singapura, Brunei Darussalam. Sebaliknya bagi Indonesia, Entekong merupakan satu-satunya dan pertama gerbang barat yang menghubungkan dengan luar negeri, meski sebenarnya terdapat tiga provinsi yang langsung berbatasan dengan luar negeri, yakni Kalbar, Kaltim, dan Irian Jaya.

Tak mengherankan, jika penyelesaian masalah perbatasan dari pihak Indonesia memakan waktu panjang. Hingga kini, usaha-usaha yang diselesaikan paling-paling masalah yang

mengatur lintas batas tradisional saja. Dan baru akhir-akhir ini, pemerintah Indonesia memberlakukan bebas fiskal bagi pemegang paspor Indonesia pergi ke luar negeri yang melewati Entekong. Sejak 30 Maret 1992, pemerintah menetapkan fiskal Rp 50.000 bagi pemegang paspor Indonesia yang ke luar negeri melalui pintu keluar Entekong, dan diperkuat dengan Surat Keputusan Menteri Keuangan RI Nomor 392/KMK/1992, tanggal 19 Maret 1992.

Sumber yang diperoleh dari Bappeda Kalbar menyebutkan, penduduk Kalbar yang mengunjungi Sarawak pada tahun 1985 sampai 1989 sebanyak 38.217 dengan borde pass, sedangkan dengan paspor sebanyak 9.401. Sebaliknya, penduduk Sarawak yang mengunjungi Kalbar berjumlah 16.717 orang, terdiri dari 12.955 yang mengantongi borde pass dan 3.762 dengan paspor.

Angka-angka sementara perdagangan kedua negara menunjukkan yang lebih besar nilai perdagangan Indonesia dibanlingkan dengan Malaysia sejak gerbang resmi dioperasionalkan. Antara tahun 1987-1989, nilai ekspor Indonesia ke Sarawak mencapai 3,5 juta dollar Malaysia (ringgit), atau sama dengan Rp 2,4 miliar. Sedangkan nilai impornya adalah 2,2 juta dollar Malaysia, atau sama dengan Rp 1,5 miliar. 

Sulit dideteksi

Umumnya penduduk perbatasan yang melakukan perdagangan Entekong-Tebedu. Karena perbedaan tingkat pendapatan perkapita kedua negara (GNP Malaysia tahun 1983 Rp
1.879 sedangkan Indonesia Rp 560) menyebabkan penduduk Tebedu menikmati fasilitas gerbang darat itu. Ini berarti, Keputusan Menteri Keuangan tahun 1982 yang mengizinkan membawa "oleh-oleh" senilai 250 dollar, belum berlaku efektif.

Bagi Indonesia, gerbang, darat internasional ini belumlah dapat disebut sudah dimanfaatkan secara optimal bagi pengembangan ekspor dan perdagangannya. Salah satu yang menyebabkan ialah, karena pihak Indonesia sendiri belum memformulasikan pengaturan perdagangan dengan Malaysia. Para pedagang Malaysia sendiri belum berani secara terbuka membuka jalur perniagaan dengan Pontianak, karena menurut mereka pihak Indonesia masih "mengharamkan" masalah itu. 

Banyaknya "pintu masuk" lain, di samping Entekong, tentu saja membuka peluang perdagangan gelap yang sulit untuk dideteksi. Sebagai contoh, pada tahun 1987 jumlah lada produksi Kalbar yang dijual ke Sarawak mencapai 16,7 ton. Jumlah ini sama dengan 10% hasil keseluruhan lada Kalbar. Sementara itu, biji kopi Kalbar yang dijual ke Sarawak mencapai 64 ton, atau sama dengan 60% hasil produksi petani kopi penduduk kabupaten Sanggau.

Bahkan kini buah-buahan hasil bumi Kalbar, seperti jeruk, nenas, dan durian dipasarkana ke Sarawak. Jika tidak maka pe-dagang-pedagang Sarawak sendiri mengambilnya ke Kalbar. Sebaliknya, jika masuk toko dan supermarket di Kalbar, sangat terasa suasana Malaysia. Makanan kaleng, roti, serta consumer goods pasokan Malaysia mendominasi semua tempat. Tentu barang-barang itu tak semuanya dipasok melalui pintu resmi Entekong-Tebedu.

Arus masuk wisatawan dari Sarawak dan Brunei Darussalam per tahun rata-rata sebanyak 2.525 dengan motivasi muhibah dan kunjungan keluarga. Data terakhir dari konsulat RI di Kuching menyebutkan, terdapat 2.000 warga negara Malaysia meminta exit permit mengunjungi Indonesia. Ini berarti, terjadi lonjakan sekitar 43% arus wisatawan mancanegara mengunjungi Kalbar.

Meski secara geografisherdekatan, matriks ekspor Indonesia-Malaysia hingga kini belumlah optimal dibandingkan dengan negara-negara lain-Jepang misalnya. Pada 1980, nilai ekspor Indonesia ke Malaysia mencapai US$60 juta, ekspor Malaysia ke Indonesia US$34 juta.*)

Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url