Menelusuri Sumber Primer dan Artefak Orisinal Burung Garuda, Lambang Negara RI di Museum Poesaka Ningrat, Kesultanan Sintang

Penulis di Museum Poesaka Ningrat, Kesultanan Sintang yang menyimpan asli-bukti sejarah berupa artefak dan bukti-bukti otentik Burung Garuda, simbol kesultanan Sintang serta barang hantaran Loh Gender bagi Darajuanti.


SANGGAU NEWS: Wisata sejarah ke lokus destinasi Kesultanan Sintang, Kalimantan Barat, sungguh berdaya pesona, dengan tarikan magnit tersendiri. 

Selain menghadap langsung. Senentang (berhadap-hadapan muka) dengan pertemuan Sungai Melawi dan Sungai Kapuas, museum Poesaka Ningrat, Kesultanan Sintang menyimpan segudang bukti sejarah tentang Burung Garuda, lambang kerajaan Sintang dan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Museum Poesaka Ningrat nan pusaka

Di sebuah sudut ruangan tersembunyi di Museum Poesaka Ningrat, Kesultanan Sintang, Kalimantan Barat. Seorang peneliti sejarah, terkhusus sejarah Dayak, dengan tekun menyelidiki artefak berharga yang tersimpan di dalamnya. 

Penuh gairah, ia membuka lemari kaca. Mengamati dengan saksama barang-barang peninggalan dari masa lalu, saksi bisu peristiwa sejarah yang membentuk keberadaan sebuah negara.

Baca Sanggau Dan Penduduknya Era Pengaruh Hindu-India Pra Abad XIV

Burung garuda dari mana asalnya?

Di antara koleksi yang menarik perhatiannya adalah "burung garuda," lambang negara Kesatuan Republik Indonesia (NKR). 

Dengan penuh dedikasi, peneliti itu melacak asal-usulnya, membongkar lembaran sejarah yang mungkin terlupakan. Ia menelusuri jejak Sultan Hamid II dari Pontianak, yang ternyata bukan hanya perancang lambang negara, tetapi juga memiliki keterkaitan dengan Kerajaan Sintang.

Barang hantaran Loh Gender: seperangkat gamelan dan gong, lambang kerajaan Sintang, dan lukisan diri Darajuanti.


Lambang garuda ternyata bukanlah sekadar simbol patriotisme nasional, melainkan warisan dari Kerajaan Sintang yang dibuat oleh seorang empu Dayak bernama Sutha Manggala.

Berdasarkan studi interteks, peneliti menemukan benang sejarah, bahwa  Sutha Manggala seorang Dayak, temenggung di salah satu wilayah Kerajaan Sanggau pada masa yang lampau.

Peneliti itu dengan seksama memeriksa detail lambang tersebut, mencoba membayangkan tangan ahli yang mengukirnya dan cerita di baliknya.

Baca Pang Budjang Salah Seorang Pejuang Perang Madjang Desa Dari Lintang Yang Dilupakan

Barang hantaran Loh Gender salah satu saksi sejarah

Namun, tidak hanya lambang nasional yang menarik perhatiannya. Dalam perjalanan napak tilasnya, peneliti itu menemui barang hantaran Loh Gender, saksi sejarah dari pernikahan Darajuanti. 

Di muka Museum Poesaka Ningrat, Kesultanan Sintang.


Sebuah set gamelan dan gong asli dari Jawa, mengungkapkan hubungan budaya yang erat antara pulau-pulau di Nusantara.

Sumber-sumber primer ini bukan hanya artefak mati, tetapi potongan hidup dari masa lalu. Semua temuannya dengan seksama disimpan dan diperjelas untuk membangun narasi yang autentik. 

Dalam pencariannya, peneliti sejarah menghadirkan kisah-kisah tersembunyi. Ia, lewat literasi, mengungkapkan kekayaan sejarah yang sering kali terabaikan. Meskipun bapak dan pendiri bangsa, Bung Karno, telah berkali mengingatkan "Jas Merah": jangan sekali-kali meninggalkan sejarah!

Inilah salah satu sejarah penting yang menjadikan bangsa Indonesia besar, satu, dan kuat, sekalgus invictus: Burung Garuda!

Penjelasan Pangeran Bernie
Pangeran Bernie, salah seorang pemangku warisan trah biru dan kesultanan Sintang menyatakan, "Kami, kita, semua adalah Dayak. Orang sini (Kalbar) bilang kami 'Senganan'. Di dinding itu terdapat silsilah yang menyatakan suku-suku yang telah dari semula berada wilayah Sintang."

Oleh alasan dan kepentingan politik, kata Bernie, "Sering dibentur-benturkan Dayak dan Senganan. Padahal, mereka itu satu asal."

Baca Denny JA, LSI, Dan "Nujum"-Nya Yang Jarang Meleset

Bukti-bukti otentik asal usul burung garuda, kata Bernie, tersimpan dengan rapi di museum Museum Poesaka Ningrat, Kesultanan Sintang. Bukti sejarah serta artefak ini terbuka untuk mata dan hati siapa saja. Terutaama bagi sejarawan, guru, dosen, penulis, dan peneliti. 

Peneliti sekaligus penulis (kiri) bersama naracerita yang adalah pemangku dan pewaris Kerajaan Sintang, Pangeran Bernie.


"Agar sejarah tidak bias, dan dibelokkan!" papar Bernie. "Maka ia, sejarah itu, diabadikan dalam narasi."

Hal itu sesuai dengan peribahasa, "Verba volant, scripta manent". 

Ya, apa yang diucapkan berlalu, tapi yang dituliskan, abadi.

(Masri Sareb Putra)

Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url