Etnis Tionghoa di Sanggau : Lidah orang Haka Menyebut: Sîang-ngau (1)

Kamponk Tionghoa, klenteng Tri Dharma (Pekong) Sanggau di Jl. Kartini, Ilir Kota, Kec. Kapuas,  Lim San dan penulis.

SANGGAU NEWS : Jelang Imlek 2024. Banyak baiknya kita masuk. Menyelami bagaimana histori dan ekistensi komunitas atau etnis Tionghoa tiba di Sanggau, Kalimantan Barat.

Lalu memandang dengan tatapan penuh cinta sejarah sekian ratus tahun lamanya pecinan di tepian Sungai Kapuas terbentuk, dan membentuk, komunitas etnis yang datang di Bumi Daranante meninggalkan tapak yang menjadi sejarahnya. 

Lukisan pada dinding klenteng Tri Dharma (Pekong) Sanggau di Jl. Kartini, Ilir Kota, Kec. Kapuas adalah fraksi, atau potongan peristiwanya. Sedemikian rupa, menjadikan Tionghoa di Sanggau berbeda dengan di tempat lain, Singkawang misalnya.

Harus dicatat bahwa warga Tionghoa adalah bagian dari sejarah Sanggau. Sejarah Sanggau telah dipaparkan dengan mendalam di laman berita dan informasi kita. Baik asal-usul kerajaan maupun etimologi telah terurai secara terperinci.

Dalam karakter aksara Cina, Sanggau tertulis 桑高. Sementara dalam dialek Hakka, Sanggau disebut : Sîang-ngau.

Namun, tidak peduli versinya, Sanggau kini menjadi tempat tinggal yang damai bagi bagi tiga etnis: Dayak, Melayu (keturunan langsung dari Babai Cinga dan Daranante), dan Tionghoa yang diakui setara dalam Negara Pancasila.

Etnis Tionghoa 20% dari total penduduk Kabupaten Sanggau

Dalam bingkai Indonesia, menggali sejarah Etnis Tionghoa di Sanggau, Kalimantan Barat, sangatlah menarik.

"Orang Tionghoa menyusun persentase 20% dari total penduduk Kabupaten Sanggau," ungkap Lim San kepada Sanggau News. Dengan teliti, penelitian dilakukan di Kamponk Tionghoa dan Klenteng Tri Dharma di Jalan Kartini, Sanggau. 

Baca Kamponk Tionghoa Di Sanggau

Pada 2019, menurut BPS Sanggau, jumlah penduduk mencapai 470.224 jiwa. Sedemikian rupa, sehingga populasi orang Tionghoa di Kabupaten Sanggau mencapai 94.000 jiwa, sebuah angka yang signifikan. Ini menjadikannya yang terbesar kedua di Kalimantan Barat setelah Singkawang.

Dengan demikian, menelusuri sejarah dan melihat kehidupan Etnis Tionghoa di Sanggau menjadi sangat menarik. Ketiga etnis utama di Sanggau hidup berdampingan dengan harmonis. 

Meskipun sempat terjadi ketegangan sosial antara Dayak-Tionghoa akibat peristiwa kelam pada tahun 1967, kini semua sukubangsa di Sanggau hidup berdampingan dengan rukun setelah melewati masa sulit tersebut.

Tionghoa dan Cina: di mana bedanya?

Istilah "Tionghoa" memiliki makna yang lebih dalam ketika diterapkan untuk merujuk pada etnis yang bermula dari daratan Cina dan telah menapakkan jejaknya di tanah Nusantara selama beribu tahun yang lampau. Ini adalah panggilan untuk menghormati perjalanan panjang mereka yang membentang melintasi zaman dan budaya.

Baca Enksiklopedia Tionghoa : Mana Enksiklopedia Etnismu? 

Sebagai kontras, kata "Cina" mengacu pada geografi, tempat, atau negara, menciptakan pemisahan yang lebih jelas antara asal usul dan kediaman saat ini.

Di dalam pemandangan ke-Indonesiaan yang berkembang saat ini, terdapat kebijaksanaan dalam membedakan antara keduanya, bukannya menjauhkan mereka. 

Kita menetapkan sebuah panggung yang istimewa bagi orang yang telah mendaratkan akar-akar kuat dalam bumi Indonesia, telah melalui proses berkelanjutan dari Indonesiaisasi, dan dengan setia menjalani hidup mereka dengan nilai-nilai Pancasila sebagai panduan. Dalam hal ini, mereka menjadi bagian integral dari etnis Tionghoa, sebuah identitas yang mereka anut dengan kebanggaan.

Namun, lebih dari sekadar merangkul identitas mereka sendiri, etnis Tionghoa juga mengambil peran aktif dalam memperkaya keberagaman kita. Dalam kebersamaan, mereka membentuk mozaik budaya yang semakin indah dan kaya, menambah warna-warni ke dalam jalinan keragaman yang membentuk bangsa ini. Jadi, sembari tetap berpegang pada akar-akar kebudayaan leluhur, orang Tioghoa dengan tulus menyatu dalam satu identitas Indonesia yang melampaui batas etnis.

Dengan demikian, pemahaman yang lebih mendalam tentang perbedaan antara "Tionghoa" dan "Cina" dalam konteks ke-Indonesiaan menjadi penting. Ini adalah pencerminan dari nilai inklusivitas kita. Yang mengakui perjalanan sejarah yang kaya dari etnis Tionghoa. Sekaligus ungkapan untuk menyambut kehadiran mereka sebagai bagian penting dari narasi bangsa yang lebih besar.

Sebelum kita merambah kedatangan dan keberadaan etnis Tionghoa di Sanggau, alangkah baiknya jika kita melihat sekilas sejarah sebagai pandangan awal.

Sejarah etnis Tionghoa di Nusantara

JIka menyibak kembali lembar sejarah, peraturan dan tindak diskriminatif terhadap etnis Tionghoa dimulai sejak zaman kolonial Belanda. Saat itu, pemerintahan Hindia Belanda mengeluarkan kebijakan berupa batasan ruang gerak pada warganegara Tionghoa dengan adanya Passenstelses dan Wijkenstelsel.

Sejak tragedi Angke pada tahun 1740, orang Tionghoa tidak diperkenankan bermukim secara bebas. Aturan ini kemudian menumbuhkan pecinan. Yakni pemukiman etnis Tionghoa di sejumlah kota besar di Hindia Belanda.

Aturan seperti dirancang pemerintah kolonial itu, tanpa diduga malah menciptakan konsentrasi kegiatan ekonomi orang Tionghoa di perkotaan. Dan tatkala perekonomian dunia beralih ke sektor industri, justru etnis Tionghoa yang paling siap dengan spesialisasi usaha, seperti: transportasi, jasa, makanan-minuman, jamu, peralatan rumah tangga, bahan bangunan, pemintalan, batik, kretek, dan kerajinan.
Sembari tetap berpegang pada akar-akar kebudayaan leluhur, orang Tioghoa dengan tulus menyatu dalam satu identitas Indonesia yang melampaui batas etnis.
Bukannya menyudutkan dari sisi ekonomi, aturan tadi malah menjadi rahmat tersembunyi. Etnis Tionghoa kian makmur dengan usaha mereka. Ironisnya, kemakmuran yang dicapai dengan cucuran keringat dan air mata itu, justru lenyap dalam sekejap. 

Manakala kerusuhan sosial terjadi dan pada mereka ditiupkan bara kebencian berlatar kecemburuan sosial, maka semua usaha jadi sia-sia. Ibarat setitik nila merusak susu sebelanga. Hujan sehari menghapus kemarau setahun.

PP No. 10 Tahun 1959 dan Instruksi Presiden No. 14/1967


Ironisnya, peraturan dan tindak diskriminatif seperti terjadi pada zaman kolonial, diteruskan republik, baik masa Orde Lama maupun Orde Baru. Sebagai contoh, Peraturan Pemerintah atau PP No. 10 Tahun 1959. Lalu Instruksi Presiden No. 14/1967. 

Peraturan ini bukan saja diskriminatif, karena menafikan etnis Tionghoa sebagai warga Negara Indonesia, tetapi juga melarang mereka merayakan Imlek dan melakukan ibadah keagamaannya. Celakanya, peraturan ini menjadi legitimasi meminggirkan etnis Tionghoa dari bumi pertiwi.

Jika menyibak kembali peristiwa kerusuhan sosial di Nusantara, etnis Tionghoa hampir selalu menjadi victim-isasi. Mulai dari Tragedi Angke tahun 1740 di mana jatuh 10.000 korban jiwa. Tragedi kemanusiaan ini sungguh memilukan dan sukar hilang dari lembaran sejarah sebagai catatan yang sungguh kelam.

Berawal dari hal spele, dendam kesumat antarpibadi. Setelah diprovokasi, skala kerusuhan menjadi masif tidak terkendali. Di tengah-tengah ketidakmenentukan, ditiupkan berbagai isu baru, sehingga tersulut amuk massa dan pengerahan kekuatan tentara.

Etnis Tionghoa di luar rumah yang berusaha menyelamatkan diri diburu dan dikejar. Sementara yang ada di dalam rumah dan pemukiman dipaksa untuk keluar dengan berbagai cara. Setelah keluar, mereka dihadang pasukan bersenjata lengkap. Jadilah etnis Tionghoa korban seperti terorganisasikan secara rapi sebelumnya (Hembing, 2005: 92-116).

Hal yang mengenaskan adalah bahwa dalam Tragedi Angke tidak ada pihak yang bertanggung jawab. Penguasa waktu itu (Hindia Belanda) yakni Gubernur Jendral Valckenier dan anggota mejelis VOC W. van Imhoff cuci tangan. Mereka bahkan saling tuding. 

Namun, lagi-lagi seorang etnis Tionghoa yang jadi kambing hitam, yakni Nie Hoe Kong, kapitan Tionghoa berusia 30 tahun yang menjabat sejak 1736. Alasan Hoe Kong dikatakan layak dijadikan kambing hitam karena “… ia putra pertama orang ternama saat itu, yaitu Letnan Ni Locko, tetapi juga karena ia memiliki potensi untuk menjadi pemimpin serta kaya raya (Hembing, op. cit. hal. 123).

Meski tidak ada bukti-bukti yang mendukung Nie Hoe Kong pantas bertanggung jawab atas Tragedi Angke, toh rumah dan harta bendanya dijarah. Ia lalu diasingkan ke Mollucas, Ambon, dan meninggal di sana.

Sering jadi victimisasi


Dua abad selang Tragedi Angke 1740, peristiwa rasial di Nusantara jarang terdengar muncul ke permukaan. Namun, masuk paruh dasawarsa kedua abad 20, kembali muncul tragedi serupa yang mengorbankan etnis Tionghoa. Misalnya, Peristiwa Solo tahun 1912 dan Kerusuhan di Kudus tahun 1918. 

Dan pada awal masa Revolusi, antara bulan Mei-Juli 1946 terjadi Tragedi Tangerang. Tragedi berlanjut di perkampungan nelayan etnis Tionghoa di Bagan Siapi-api bulan September 1946. Lalu merambah ke Palembang pada bulan Januari 1947.

Hari Berkabung bagi warga Tionghoa di Indonesia 


Di antara rentetan peristiwa yang berakhir victim-isasi etnis Tionghoa itu, Tragedi Tangerang boleh disebut luar biasa. Bahkan, 11 Juni 1946 dinyatakan sebagai Hari Berkabung bagi warga Tionghoa di Indonesia. 

Toko dan pabrik milik etnis Tionghoa tutup. Kegiatan terhenti. Seperti dicatat dan dibingkai (media framing) Sin Po yang secara ajeg dan menggelorakan “filosofi Keong”. Namun, segera diberi catatan, bukan berarti menarik diri, tapi sekadar “tiarap”. Sesudah situasi normal, etnis ii kembali berkiprah layaknya warga biasa.

Sebagaimana diketahui, Sin Po adalah nama sebuah surat kabar Tionghoa berbahasa Melayu. Terbit di Nusantara sejak sejak zaman kolonial hingga tahun 1965. 

Surat kabar ini pertama kali terbit di Jakarta sebagai mingguan pada Oktober 1910. Lalu, berubah menjadi surat kabar harian dua tahun kemudian. 

Sin Po adalah harian pertama yang memuat teks lagu kebangsaan Indonesia, “Indonesia Raya” .

Koran beraksara Cina itu juga turut memelopori penggunaan istilah "Indonesia" untuk menggantikan "Hindia-Belanda" sejak Sumpah Pemuda pada 28 Oktober 1928. --Rangkaya Bada
(Bersambung)

Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url