Sejarah Kesultanan Melayu Sanggau

Buku mengikat ilmu. 
Benarlah adanya kata peribahasa. Usai membaca buku ini, kita jadi mafhum sejarah Sanggau dari masa ke masa. Bermula dari kisah kedatangan Daranante dari bumi Labai Lawai (Sucadana) hingga bertemu Babai Cinga di Tampun Juah. Kemudian, menetap di muara Sei Sekayam di mana badan sungai jatuh ke perut Sungai Kapuas yang mengalir bebas membelah kota Sanggau.

Sebagai cerdik cendikia, dan juga penulis, memang kita tidak puas membaca hanya satu sumber atau pustaka tunggal saja. Lebih luas data dan informasi didapatkan manakala membandingkannya dengan sumber lain, yang sejenis. Yang menurut istilah akademik disebut studi "inter-teks". 

Mengapa?

Sebab proses menulis sejarah adalah ihwal penafsiran, atau hermeneutika. Sejarah adalah hasil rekonstruksi penulisnya. Semakin banyak data dan informasi, dan semakin banyak pengetahuan si penulis, maka buku sejarah itu mendekati fakta-sejarah. Sejarah bisa bias manakala si penulisnya kurang data dan informasi untuk menyangga bangun tulisannya.

Toh demikian, sebagaimana dikatakan pegiat literasi nasional asal Jangkang, Masri Sareb Putra, M.A. 
"Lebih baik sejarah, masa lampau, ditulis daripada tidak ditulis. Penulis bisa saja salah dan kesalahan bisa diperbaiki dan dibetulkan pada cetakan yang berikutnya. Namun, 'bohong dan sengaja berbohong' itu tidak ada obatnya. Ini yang tidak boleh dilakukan penulis."

Jujur buku ini cukup membawa kita hanyut masuk ke alam kerajaan Sanggau dari era Dayang Mas hingga Raja Sanggau ke-25 saat ini, Gusti Arman.

Namun, buku lain yang lebih dulu ada seperti karya Lontaan (1975, halaman 170 - 177); patut disandingkan sebagai pembanding. Dalam senarai Daftar Pustaka, kita tahu siapa mengacu *reference* siapa? Tentu penulis (buku) yang terbit lebih awal adalah sumber primernya.

Jangan hanya baca satu buku. Bacalah banyak buku untuk membanding-banding, sedemikian rupa, agar tidak kacamata kuda!

Buku ini memaparkan fakta sejarah kerajaan Sanggau. Di antaranya bahwa Sultan Abang Abdurrahman telah mendirikan Kesultanan Sanggau pada tanggal 5 Rabiul Awal 871 H/8 Agustus 1450 M. Kemudian, Sultan Jamaludin memindahkan pusat pemerintahan Kerajaan dari Mengkiang ke Sanggau pada tanggal 12 Maret 1658 M. 

Selain itu, buku ini juga memaparkan beberapa cerita legenda yang menggambarkan suasana dan alam masyarakat Sanggau pada zaman dahulu.

Pustaka ini memperkaya buku yang telah terbit sebelumnya. Juga sebagai pembanding. Karena ternyata di berbagai pustaka, juga wikipedia dan media digital lain, beberapa bagian dari sejarah kesultanan dan kerajaan Sanggau terdapat silang selisih alkisahnya.

Sebagai contoh, mengenai Penembahan Ratu Surya Negara bergelar "Abang Sebilang Hari" dalam Lontaan (174) disebut sebagai adik Sultan Akhmad Kamarrudin. Namun, dalam Kesultanan Sanggau disebutkan anaknya. Lagi pula, kisahnya cukup berbeda.

Lalu manakah yang benar?

Sementara dari penulis buku ini pun tidak luput dari bias. Dari judul tampak menonjolkan Melayu (Daranante), dan mengecilkan peran Babai Cinga (Dayak). Fakta sejarahnya bahwa raja-raja/ sultan Sanggau keturunan permaisuri Dayak dari Lintang, yakni Muyang.

Di sanalah sejarah membiaskan fakta sebenarnya. Membuat kita, pembaca dan generasi yang lama mengalami gap, wajib merekonstruksi kembali sejarah masa lalu, dan sededikit mungkin ada bias. Sedemikian rupa, sehingga terjadi "fussion of horizon" terjembatani apa yang disebut the past and the present, the unknown and the known.

Dihadapkan pada fakta-sejarah serta sumber pustaka yang berbda-beda seperti ini, apa dan bagaimana sikap kita?

Dalam hal ini, sangat tepat apa yang dikatakan Prof. Rhenald Kasali kepada Rocky Gerung. 

"You jangan hanya baca satu buku. Bacalah banyak buku untuk membanding-banding dan agar tidak kacamata kuda! *)

Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url