Durian Kakek

Durian kakek: legasi kepada anak cucu.

Orang Dayak punya tembawang. Sebidang, atau sehamparan hutan buah. Biasanya, bekas perkampungan, yang dahulu dihidupi, bukan hanya ditinggali.

Yang uniknya. Warga kampung boleh mananam apa saja di tanah orang. Tanah itu tanah orang, tapi tanaman buah itu milik si penanam. Nanti, jika berbuah, harus dibagi. Itu jika buahnya hanya sedikit. Jika buah raya, biarkan saja. Siapa yang lewat,  dia yang menikmati. Makan di tempat, sampai puas. Asal jangan dibawa pulang. Itu ada adatnya. Istilahnya "makan di pokok".

Bahkan, terjadi pada musim buah raya 2019. Buah-buah durian, di kampungku, ditumpuk saja di sekitar pohonnya. Sampai busuk. Hal itu karena semua orang punya.

Manjat duren kakek, atau menunggu jatuh duren kakek, yang sukacita adalah kumpul-kumpul keluarga itu. Durennya tidak seberapa. Tapi jika jatuh, terdengar, kita ramai-ramai mencarinya. Sensasinya itu!

Saya lalu berpikir: Jika di dunia ini, semua orang punya, maka tidak ada niatan atau kehendak menginini atau mencuri milik orang. Atau mengambil sesuatu. Andaikata semua warga makmur, kejahatan itu semakin minim.

Benarkah?

Saya tak hendak menjawabnya. Kembali ke laptop saja. Ke judul tulisan ini.

Orang Dayak punya tembawang bersama. Dalam istilah orang Jangkang "buah sama". Namun, dibiasakan sejak muda, agar setiap orang harus menanam tanaman buah. Sedemikian rupa, sehingga tanaman itu menjadi semacam legacy.  Karena itu, kami mengenal istilah: Durian kakek.

Durian kakek harus dibagi-bagi, tidak boleh dinikmati sendiri. Berapa anaknya? Berapa cucunya? Harus sama menikmati. Kalau misalnya ada anggota keluarga yang tinggal di tempat jauh, jika mungkin, dikirim. Jika tidak, mereka wajib diberitahu. Itulah "adat basa".

Jika misalnya dipanjat --biasanya orang Dayak makan buah durian mentah, untuk sayur, atau untuk diperam-- maka semua anak dan cucu cicit kakek harus ada bagiannya.

Misalnya, sebatang durian buahnya 1.000. Anak cucu kakek ada 100. Maka semua mendapat 10 buah durian. Yang besar kecilnya kurang lebih sama. Kita akan menyaksikan, di bawah naungan pohon durian itu, ada 100 tumpukan yang --wajib dikagumi-- kurang lebih sama. Itulah pembagian. Itulah keadilan. Juga budaya berbelarasa.

***

SEJAUH yang saya mengalami, selama ini. Manjat duren kakek, atau menunggu jatuh duren kakek, yang sukacita adalah kumpul-kumpul keluarga itu. Durennya tidak seberapa. Tapi jika jatuh, terdengar, kita ramai-ramai mencarinya. Sensasinya itu!

Durian kakek bukan sekadar tanaman. Ia juga budaya.

Kami menikmati durian ayah kami, Sareb. Dan Sukacita itu terasa.

Nah, mengikuti tradisi itu, saya pun menanam durian untuk anak cucu. Jumlahnya baru: 200 batang. Aneka jenis. Dari lokal hingga dari Malaysia. Juga ada dari Salatiga. Dari diatn tomaga (durian tembaga, kuning warna dagingnya) diatn toranyakng (durian keranjang, panjang besar), dan diatn botuh (durian batu), bulat besar sebesar periuk nasi. Ada duren unggul, musang king, bawor, monthong juga.

Cucu dan cicit saya nanti pasti akan bilang: Itu durian kakek! (Masri Sareb Putra)

Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url