Cina Sanggau : Lho Kok Bukan Tionghoa Sanggau? (5)

  • Penulis bersama Winah, putri Among warga Tionghoa Sanggau yang kini melebarkan sayap warkop Among hingga Banten.
Pada narasi sebelumnya.

Kita telah mafhum bersama. Bahwa etnis Tionghoa Sanggau telah meninggalkan akar budaya leluhur. Dan berakar kuat di bumi Daranante. 
Baca untuk menambah wawasan sejarah Daranante, Wangsa Majapahit dari Labae Lawae (Sukadana)

Sesungguhnyalah, terdapat nuansa berbeda Kata "Cina" dan "Tionghoa".

Kata "Cina" dan "Tionghoa" sering digunakan untuk merujuk kepada hal yang sama, yaitu negara dan budaya yang berhubungan dengan Republik Rakyat Tiongkok (RRT) atau orang-orang Tionghoa. Namun, perbedaan antara kedua istilah ini dapat dibahas dari beberapa sudut pandang dan konteks penggunaannya.

Dari sisi Geografi, "Cina" mengacu pada wilayah geografis Republik Rakyat Tiongkok, yang meliputi daratan utama Tiongkok serta wilayah administratif seperti Hong Kong dan Makau. Sementara "Tionghoa" mengacu pada kelompok etnis dan budaya yang berasal dari Tiongkok dan tersebar di berbagai negara di seluruh dunia, termasuk bumi Dara Nante, Sanggau.

Kata "Cina" sering digunakan dalam konteks kebangsaan dan geopolitik. Ini mengacu pada negara, Republik Rakyat Tiongkok (RRT), yang memiliki wilayah yang sangat luas dan populasi terbanyak di dunia. Ini mencakup aspek-aspek seperti pemerintahan, politik, ekonomi, dan sebagainya yang berkaitan dengan negara Cina.

Sementara kata "Tionghoa" lebih sering digunakan dalam konteks budaya. Ini merujuk kepada kelompok etnis dan budaya yang memiliki akar sejarah yang panjang di Tiongkok dan tersebar di seluruh dunia. Orang-orang Tionghoa dapat tinggal di berbagai negara dan memiliki identitas budaya yang kaya.
Baca narasi sebelumnya Etnis Tionghoa Di Sanggau: Sejarah Pecinan Di Bumi Daranante (4)

Dalam konteks bahasa, "Cina" mengacu pada bahasa resmi di RRT, yaitu Bahasa Mandarin atau Bahasa Tionghoa (Hanyu).Sedangan dalam konteks budaya, "Tionghoa" dapat merujuk pada beragam bahasa yang digunakan oleh kelompok etnis Tionghoa di seluruh dunia, termasuk Bahasa Mandarin, Kanton, Hokkien, dll.

Dalam konteks pPolitik dan Identitas, kata "Cina" sering digunakan untuk merujuk kepada warga negara Republik Rakyat Tiongkok (RRT) dan entitas politiknya. Sedangkan  "Tionghoa" lebih sering digunakan untuk menggambarkan identitas etnis dan budaya orang-orang Tionghoa yang tersebar di seluruh dunia, termasuk mereka yang tidak tinggal di Tiongkok.

Dari sisi Geografi, "Cina" mengacu pada wilayah geografis Republik Rakyat Tiongkok, yang meliputi daratan utama Tiongkok serta wilayah administratif seperti Hong Kong dan Makau.

Sementara "Tionghoa" mengacu pada kelompok etnis dan budaya yang berasal dari Tiongkok dan tersebar di berbagai negara di seluruh dunia.

Perlu diingat bahwa penggunaan kedua istilah ini dapat bervariasi tergantung pada konteksnya, dan orang seringkali menggunakan mereka secara bergantian. 

Penting untuk memahami konteksnya untuk menginterpretasikan dengan benar apa yang dimaksud dengan "Cina" atau "Tionghoa" dalam suatu percakapan atau tulisan.

Nah, karena narasi kali ini menyigi sisi sejarah Tionghoa Sanggau dan Kalimantan Barat, maka judul di atas serasa pas.
Baca juga Sejarah Sanggau

Kita ketahui bersama. Bahwa pada kerusuhan yang terjadi bulan November 1967 di Kalimantan Barat, ratusan warga Tionghoa meninggal dunia. Puluhan lainnya terpaksa mengungsi ke pesisir-pesisir, meninggalkan harta benda dan semua milik mereka.

Fakta sejarah itu, tercatat secara blak-blakan dalam dokumen resmi yang sangat rahasia selama 50 tahun tersimpan rahasia di kotak pandora. Di bawah judul Tandjungpura Berdjuang (1970), sebenarnya ini adalah dokumen militer. 

Pada narasi yang berikutnya, isi sebagian kotak pandora itu akan kita buka bersama. Apa gerangan isinya?

Namun, dapatkah menggeneralisasi etnis Tionghoa di Indonesia sebagai hanya memiliki satu kaki? Artinya, pukul rata, semua warga asal berkulit kuning bersih, bermata sipit ini sama saja? 

Ternyata, tidak! 

Tahun 1931, misalnya. Penulis dan cendikiawan etnis Tionghoa terkenal, Kwee Tek Hoay mengamati dan mencatat meski satu asal muasal, para hoa kiauw itu sesungguhnya terdistingsi dalam lima golongan.

  1. Peranakan Tionghoa kaya raya dan kelas menengah. Golongan ini ingin terus tinggal di Indonesia. Mereka juga ingin mengupayakan pendidikan tinggi bagi diri dan generasi berikutnya.
  2. Golongan miskin yang juga tetap ingin tinggal di Nusantara. Bedanya, golongan kedua ini sudah merasa puas jika putra dan putri mereka dapat membaca dan menulis bahasa Melayu dan huruf Latin.
  3. Golongan yang menganut paham nasionalisme Tiongkok. Mereka ingin mengirim putra dan putrinya ke Tiongkok untuk membangun negeri tirai bambu. Kaum ini yakin, pengajaran dan pendidikan bahasa Tionghoa wajib, meski putra dan putri mereka tidak ke Tiongkok.
  4. Golongan totok yang beraliran utilitarian. Kaum ini mengharapkan identitas Tionghoa, namun tidak yakin bahwa bahasa Tionghoa cukup membekali putra dan putri mereka hidup layak dan leluasa di Nusantara.
  5. Eetnis Tionghoa totok. Golongan ini terutama dari marga Keh (Hakka) dan Konghu (Cantonese) yang ingin kembali ke negeri leluhur.

Lima golongan Tionghoa ini dalam kehidupan sehari-hari berbeda ditilik modus vivendi dan way of life

Demikian pun dalam hal pendidikan. Namun, orang luar kerap menyamaratakan begitu saja. Mengapa etnis Tionghoa kompak saat terjadi krisis? Filosofi keong adalah jawabannya. 
(Bersambung)
Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url