Dompu dan Somang: Menggali Makna Terdalam Relasi Sinan dan Dayak di Sanggau

 

Sungai Sekayam: Di mana Sinan dan Dayak satu pemandian/ jamban.

Dompu dan Somang.

Pernahkah Anda menggunakan, setidaknya mendengar istilah itu? Sapaan saudara antara Sinan (Senganan) dan Dayak (Darat) khususnya di wilayah Kabupaten Sanggau ini biasa digunakan hingga tahun 1980-an oleh orangtua.
Baca Sejarah Sanggau

Namun, agaknya kini generasi muda telah meninggalkan sejarah. Untuk itulah portal berita dan informasi kita ini ada dan berada.

Kali ini kita menggali makna terdalam sapaan saudara Sinan dan Dayak di Sanggau. Suatu fenomena yang kemudian oleh kolonial Belanda dan para penulis asing memberikan labeling Riverside (Laut/ Sinan) dan Upperside (Darat/Dayak) dalam kepustakaan lama yang kini tersimpan di negeri Belanda dan Inggris. 

Di alam masa kolonoal, Sanggau cukup menjadi perhatian para pakar antropologi budaya  dan menjadi pokok kajian (objek material) ilmiah sejak zaman  kolonial. H.P.A Bakker misalnya, dalam jurnal Tijdschrift
sambil menyingung mengenai sejarah Kerajaan Sanggau, sempat  menyentil tentang kepercayaan dan adat istiadat penduduk  setempat.  

Kemudian M.C. Schadee, Controleur bij het Binnenlandsch  Bestuur (Kontrolir Pamong Praja) mencatat kepercayaan suku  Dayak di daerah Landak dan Tayan yang disebutnya sebagai  shamanisme. Padahal yang tepat adalah "kepercayaan/ agama asli" setempat. Bukan pula animisme. Keliru besar itu.

Penduduk Tayan sering berinteraksi dengan Dayak Jangkang, sehingga dapat ditarik kesimpulan terjadi cross culture antarkedua  suku. Selain bermusuhan, kedua wilayah ini juga saling membantu  menumpas penjajah Belanda terutama di masa tanam paksa. Bahkan Macan Luar yang di hari tuanya digelari “Kek Gila” sangat intens berada di Tayan dalam rangka membantu Raja Kerajaan Sanggau menaklukkan raja Tayan yang ketika itu tidak mau  tunduk pada Raja Sanggau.  

Sinan dan Dayak di Sanggau adalah saudara satu asal yakni dari keturunan Daranante dan Babai Cinga. Yang satu bermuki di pesisir, yang lainnya tinggal di daratan. Pemilahan ini oleh kolonial untuk memecah belah. Namun, mereka bodompu dan bosomang.

Pada zaman kolonial, dan hingga masa pendudukan Jepang, Jangkang kurang menarik perhatian pemerintah jajahan. Hal ini  karena luasnya kepulauan Borneo. Apalagi, waktu itu, Borneo  belum menjadi wilayah kolonial sendiri. 


Baru pada tahun  1936 ditetapkan Ordonantie pembentukan Gouvernementen Sumatra, Borneo en de Groote-Oost (Stbld. 1936/68). Borneo  Barat menjadi daerah Karesidenan dan sebagai Gouvernementen Sumatra, Borneo en de Groote-Oost yang pusat pemerintahannya adalah Banjarmasin.  

 

Dua tahun kemudian, Gouvernementen van Borneo dibagi  dua. Yakni Residente Zuideen en Oosterafdeling van Borneo  dengan ibukota Banjarmasin dan Residente Westerafdeling  dengan ibukotanya Pontianak. 

 

Tiap-tiap Residente dikepalai seorang Resident dengan  Besluit Gouverneur van Borneo tertanggal 10 Mei 1939 No.BB/A I/3/Bijblad No. 14239 dan No.14239 a) Residensi Kalimantan  Barat dibagi menjadi empat afdeling dan 13 onder afdeling.

 

Oleh karena bermukim di tepi sungai, Sinan dilabeli dengan riverside atau laut, sedangkan Dayak dilabelkan dengan sebutan upperside yang berarti orang darat atau orang udik. Karena itu, praktis Sinan yang menguasai transportasi saat itu, sebab satu satunya jalan ke kota raja (Sanggau) hanya bisa dilayari melalui Sungai Moncakng atau Mengkiang dan Sekayam. Baca Sanggau

 

Pemilahan tempat tinggal ini sebenarnya terjadi tidak dengan sengaja, namun pada akhirnya menciptakan  kebiasaan, kebiasaan yang dilakukan terus-menerus menjadi  karakter, dan karakter yang terbentuk menjadi keyakinan dan  filsafat hidup yang pada gilirannya menjadi budaya.  

 

Demikanlah, Dayak dan Sinan hingga hari ini di wilayah Sanggau terpilah secara tempat tinggal, agama, dan secara  ekonomi diawali dari kebiasaan tempat tinggal ini. Namun, dalam  catatan sejarah, keduanya tidak pernah clash secara terbuka,  apalagi massal. Sebab baik Sinan maupun Dayak tetap bersaudara. Mereka bodompu dan bosomang.

 

Senganan menyapa saudaranya Dayak dengan “dompu”. Sedangkan Dayak menyapa saudaranya dengan “somang”. *)
Baca Muara Sungai Sekayam, 1937

 

 

Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url