Arbudin Jauhari : Belarasa dan Kekompkan Dayak Melawan Jika Ada Ancaman

Arbudin  Jauhari (kiri) dan Yustinus (kanan). Sumber foto: postingan VE di WAG.

Pak Arbudin sudah OTW Sanggau - Sintang pagi ini. Didampingi Pak Yustinus Ketua ISKA Kab. Sintang yang juga Kadis Dikbud Sitang.

SANGGAU NEWS : Demikian keterangan singkat di sebah WAG, terkait peristiwa "penolakan seseorang" di Sintang pada Sabtu 02/03-2024 yang tidak diinginkan kedatangannya di bumi Senentang.

Harus ada orang yang dianggap bertanggung jawab. Orang itu adalah: Arbudin Jauhari. Dalam sebuah tayangan video di TikTok, tampak sejumlah aparat menjemputnya, secara paksa. Lalu dibawa ke Pontianak, entah, untuk apa?

Namun, orang Dayak yang kuat ikatan emosional dan belarasanya, tidak terima. Bagaimana pun, simbol Dayak, jangan sesekali dimain-mainkan. Sekali Dayak merasa teraniaya, dan dilanggar harga diri dan kehormatannya, jangan coba-coba. Seluruh Dayak di dunia, dengan popuasi 8 juta jiwa, akan membelanya!

Kiita tidak masuk ke casus belli, apa menyebakan apa, dalam peristiwa "penolakan seseorang" di Sintang dan dijemput paksanya Arbudin. Kita fokus ke: mengapa belarasa, kesatuan dan persatuan Dayak begitu kuat?

Dayak: belarasa kuat

Menjalani kehidupan di rumah panjang memperkuat rasa belarasa dan semangat kesatuan serta persatuan di kalangan masyarakat Dayak. Untuk diketahui bahwa populasi Dayak direngarai tidak kurang dari 8 juta. Terdiri atas 7 stammenras (rumpun besar) dengan 405 subsuku (Lontaan, 1975: 47 - 64).

Kehidupan bersama ini menciptakan ikatan yang erat di antara anggota komunitas, di mana setiap individu merasakan tanggung jawab kolektif terhadap keberlangsungan dan keharmonisan kelompok.

Ketika salah satu anggota dihadapkan pada ancaman atau serangan, yang lainnya bersatu untuk memberikan dukungan dan pertolongan. Kebersamaan ini menjadi lebih nyata dan terwujud dalam berbagai kasus yang telah terjadi, seperti di Sanggau Ledo, Sambas, Sampit, dan yang terakhir, kasus pelecehan dengan kata-kata yang mengandung stereotip merendahkan, "Kalimantan tempat jin buang anak". Kasus-kasus tersebut bukan sekadar permasalahan individu, melainkan menjadi permasalahan seluruh komunitas Dayak.

Solidaritas yang tumbuh dari kehidupan di rumah panjang tidak hanya menciptakan jalinan emosional di antara mereka, tetapi juga memupuk semangat untuk saling membantu dan melindungi hak serta kehormatan satu sama lain. Rasa belarasa ini menjadi pondasi kuat bagi kesatuan dan persatuan masyarakat Dayak, di mana mereka bersama-sama menghadapi tantangan, baik dari dalam maupun dari luar komunitas. Peristiwa pelecehan dengan kata-kata yang merendahkan tersebut memberikan contoh nyata bagaimana masyarakat Dayak melihat ancaman atau cemoohan terhadap satu anggota sebagai serangan terhadap seluruh kelompok. Mereka tidak hanya menanggapi sebagai individu terkena dampak, tetapi merasa perlu untuk bersama-sama menegakkan kehormatan dan martabat Dayak sebagai suatu keseluruhan.

Dayak akan bersatu, kompak, manakala ada ancaman akan eksistensi dirinya secara keseluruhan. Bibit ini ternaman sejak lama. Dan telah menjadi SPIRIT DAYAK. Secara naluri, atau insting, sesama Dayak akan datang dari berbagai penjuru Borneo untuk membantu dan melepaskan saudaranya yang disakiti.
Dalam konteks ini, dapat disimpulkan bahwa kehidupan di rumah panjang bukan hanya membangun rumah fisik, tetapi juga menciptakan rumah bagi nilai-nilai solidaritas, belarasa, dan semangat kesatuan yang mengakar dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Dayak.

Semangat belarasa, persatuan, dan kesatuan dalam membela harkat dan kehormatan kaumnya sangat jelas terlihat dalam tindakan masyarakat Dayak terhadap saudaranya, Arbudin Jauhari, yang dipaksa oleh petugas untuk dibawa ke Pontianak. Masyarakat Dayak memberikan respons yang tegas, menunjukkan komitmen mereka terhadap solidaritas dan nilai-nilai kehormatan.

Mereka memberikan ultimatum dengan jelas, menyatakan bahwa jika Arbudin Jauhari tidak kembali hingga jam 11 hari Minggu, tanggal 3 Maret 2024, maka akan diambil tindakan. Pesan ini mencerminkan tekad dan kebulatan tekad masyarakat Dayak untuk melindungi kehormatan dan martabat anggota komunitas mereka. Tindakan ini juga mencerminkan keberanian dan kepedulian mereka terhadap saudara mereka yang dianggap sebagai bagian tak terpisahkan dari kelompok mereka.

Respons Dayak cerminan belarasa tinggi

Dalam konteks ini, penting untuk dicatat bahwa respons ini mencerminkan budaya dan nilai-nilai yang mendalam di kalangan masyarakat Dayak, dan bahwa keteguhan dalam mempertahankan integritas kelompok menjadi prioritas utama. Hal ini juga menunjukkan pentingnya keberagaman budaya di Indonesia dan perlunya pemahaman yang lebih mendalam terhadap nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat setempat.

Masyarakat Dayak, sebagai penduduk asli Borneo, telah hadir sejak 40.000 tahun yang lalu, tercatat dalam sejarah di Gua Niah, Miri. Kehadiran mereka begitu unik dengan kekayaan budaya dan tradisi yang khas. Kesatuan, persatuan, dan rasa solidaritas di antara mereka mencapai tingkat yang sangat tinggi, terutama dalam menghadapi ancaman terhadap kehormatan, kelompok klan, serta nilai-nilai budaya yang dijaga, sejauh juga ancaman dari luar. Fenomena ini tampak jelas dalam berbagai kasus yang terjadi di beberapa wilayah seperti Sanggau Ledo, Sambas, dan Sampit. Masyarakat Dayak memiliki kepedulian yang kuat terhadap nilai-nilai kehormatan, identitas klan, dan prinsip naba baik (prinsip keadilan dan kebenaran). Mereka bersatu dan bersama-sama mengatasi tantangan dan ancaman, baik yang berasal dari dalam masyarakat mereka sendiri maupun dari luar. Sejarah mencatat peristiwa "capa' molot," yang menjadi sorotan, dengan ungkapan bahwa "Kalimantan tempat jin buang anak."

Jangan main-main jika Dayak bersatu

Peristiwa ini mencerminkan kompleksitas dan kedalaman kepercayaan serta mitos dalam kehidupan masyarakat Dayak. Meskipun begitu, penting untuk mendekati dan memahami konteks budaya dan historis di balik peristiwa seperti ini, serta menghindari generalisasi yang dapat menyesatkan.

Dayak bagai pohon mangga: makin dilukai, makin berbuah. Makin disakiti, makin kuat melawan. Makin dicerai-berai, makin kuat persatuan dan kesatuannya. Mengapa?

Ini adalah "buah" dari un-intended consequences dari strategi Kompeni Hindia Belanda untuk menguasai Dayak. Dayak dikumpulkan selama 3 bulan di Tumbang Anoi. Kaum pengayau yang saling menyerang ini, di pikiran kompenih, jika disatukan, akan saling kayau. Justru kompeni keliru: diaku, malah Dayak bersatu. Inilah takti penguasaan yag keliru oleh kompeni atas Dayak, yang disebut: salt starvation (haus darah), bukan didive et impera untuk menacaukan bangsa yang bersatu, seperti di Jawa.

Boro-boro Dayak bisa disatukan kompeni Hindia Belanda. Malah balik menyerangnya. Inilah yang tak terduga!

Dayak akan bersatu, kompak, manakala ada ancaman akan eksistensi dirinya secara keseluruhan. Bibit ini ternaman sejak lama. Dan telah menjadi SPIRIT DAYAK. Secara naluri, atau insting, sesama Dayak akan datang dari berbagai penjuru Borneo untuk membantu dan melepaskan saudaranya yang disakiti. Keunikkan masyarakat Dayak dalam menjaga kesatuan, persatuan, dan melindungi nilai-nilai budaya mereka merupakan bagian integral dari keberagaman budaya Indonesia, dan penting untuk dihormati dan dipahami oleh semua pihak. Belarasa, dan persatuan dan kesatuan membela harkat dan kehormatan kaumnya itu yang ditunjukkan Dayak pada saudaranya, Arbudin Jauhari yang "dijempu paksa" petugas ke Pontianak.

Ada ultimatum, "Jika tidak kembali sampai jam 11 hari Minggu 3/3-2024, akan ada tindakan!"

Dan ultimatum Dayak itu pun: dipenuhi. Sebab, jika tidak, maka akan ada tindakan kebudayaan!

-Rangaya Bada

Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url