Legacy of the Stone

Cerpen: Liu Ban Fo

Pukul 10:30  siang.

Liu sudah tiba di kebun durian miliknya di Sekadau. Waktu itu bulan agustus dan musim kemarau. Berangkat dari Balai Karangan pukul 06:00 pagi dengan mobil pick-up warna putih miliknya. Ia menyetir sendiri. Balai Karangan sampai Simpang Tanjung, melewati tiga kecamatan, ditempuh satu jam. Kecepatan di atas 80 km per jam. Lumayan tancap gas. Jalan nasional menuju perbatasan Entikong memang mulus.

Ada 11 pohon bibit durian serembut setinggi 80 cm di dalam kabin pick-up. Bibit durian itu akan ditanam di kebunnya. Berkat pak Milu, Liu bisa mendapatkan 10 pohon bibit durian serembut, bonus satu bibit durian udang. “Seperti apa durian udang?” Liu ingin tahu. Pemilik bibit menjelaskan panjang lebar. Tapi Liu tetap tidak mengerti. Ah… tanam sajalah. Pun cuma satu. Mudah-mudahan hidup.  

Sarapan pagi di kedai Puncak Pas setelah melewati Kota Sanggau. Disitu, sambil menikmati semangkok sup iga sapi dan secangkir kopi, Liu menatap aliran sungai Kapuas yang menikung tajam. Parah sekali air sungai kapuas ini, keruh! Itu akibat banyak penambang emas liar dan tanah-tanah di hulu yang sudah dikuliti oleh eksavator untuk menanam sawit. Akankah 100 tahun lagi sungai Kapuas hanya setinggi lutut? Pikiran Liu berkelana ke masa depan yang sudah pasti ia tidak bisa melaluinya lagi. Sekarang saja rambutnya saban hari semakin penuh uban.

“Bungkuskan nasi dan satu paha ayam itu” kata Liu kepada pelayan kedai. Cewek itu patuh. Si Tajir, seekor anjing penjaga pondok, pasti sudah menunggu nasi bungkus itu. Tajir punya insting yang kuat. Ia tahu kapan Liu datang. Ia pasti ada di pondok. Selalu. Selama menginap di pondok, Liu hanya ditemani Tajir. Pukul 05:30 pagi biasanya Tajir sudah membangunkannya dengan suara khasnya. Liu turun dari atas pondok dan pergi ke dapur menyiapkan sarapan pagi untuknya dan Tajir. Tajirpun lahap.Tajir suka sekali mie instant rebus.

Liu sudah di lahan kebun durian. Kebun terkesan kurang terawat. Separuh durian yang ia tanam mati. Durian-durian itu ditanam ketika wabah covid-19 mulai menyebar kemana-mana. Ketakutan pada covid menyebabkan banyak tempat lockdown. Ia memandang ke sekeliling, disana sini semak. 

Diambilnya korek api di saku celana dan ia menunduk, lalu membakar daun-daun yang bertebaran di tanah. Iseng saja sih. Tak berharap api itu menimbulkan bencana. Tapi memang ini musim kemarau. Ia melihat jam di tangannya. Pukul 11:30. Ia lalu meninggalkan api itu dengan santai dan kembali ke pondok yang berjarak sekitar 200 meter.

Di pondok, Liu bermain-main dengan Tajir. Secangkir kopi diaduk. Ia duduk di pelataran dapur, memandang ke sekeliling. Kebun buah-buahan. Menikmati suasana sendiri bersama secangkir kopi. Pondok Liu jauh dari rumah orang lain. Sepi!

Posisi pondok Liu paling ujung dari jalan Mungguk Ransa. Sebelum pondok Liu, sekitar 300 meter jauhnya, ada “pondok” mantan bupati Sekadau, pak Ropinus dan “pondok” pak bupati, Aron. 

Antara kedua pondok ini berjarak kurang lebih 150 meter. Dipisahkan oleh sebuah bukit yang lumayan tinggi. Liu memberi nama bukit itu RAM. Singkatan dari Rupinus, Aron, Munal.    

Jalan ke pondok Liu masih rusak. Jalan tanah. Baru diservis dua tahun lalu. Sekarang kondisinya sudah seperti semula. Menjadi lalu lalang air ketika hujan. Untungnya masih bisa dilewati mobil. Mati kutulah kalau hujan turun. Mobil tidak dapat bergerak. Untungnya masih kemarau.

Angin musim kemarau bertiup cukup kencang.

“Kog angin kuat?” pikirnya. Api … api … api! Teringat pada daun-daun yang dia bakar. Ia mengambil air mineral dan bergegas ke lahan kebun durian. Berlari.

Sampai di lokasi, Liu melihat api menyala hebat bahkan lidah api ada yang sudah setinggi pohon kayu paling tinggi di situ. Ternyata api sudah melahap lahan lebih dari 100 meter dari tempat Liu membakar daun-daun yang berserakan siang itu. Cepat sekali. Asap di mana-mana dan membuat matanya perih. Sekarang api itu kurang dari 10 meter lagi mencapai pohon durian yang paling subur yang ia tanam saat awal covid-19. 

"Sial!" Gumamnya. Ia langsung berjibaku memadamkan api itu dengan ranting-ranting kayu hidup yang masih ada daunya. Tidak berdaya. Api benar-benar beringas. Tak lama ia melihat satu pohon durian sudah dilahap api dan itu pohon durian yang paling subur. Apa boleh buat!

Seekor penyengat perempuan melihat sosok manusia terkapar di dekat sarang mereka. “Apa sebab orang itu terbaring di situ?” Ia menunjuk ke arah sosok itu.

“Aku yang menancapkan dua jarum kepadanya tadi. Satu di kening dan satu di belakang leher,” jawab Spunti. “Bagaimana kalau dia mati dan membusuk di dekat rumah kita ini? Tanya si penyengat perempuan lagi dengan raut muka kesal.

Untungnya, ada 4 orang di sekitar itu sedang mengerjakan proyek PL (Penunjukan Langsung) milik Pemda Sekadau. Mereka sedang mengaduk semen dengan mengalirkan air dari kolam di pondok Liu. Salah seorang bergegas membantu dengan membawa selang air. Selang air itu sangat membantu walau air tidak terlalu deras. 

Setelah sekitar 15 menit berjibaku, api dapat ditaklukkan. Satu durian mati, lima pohon yang lain daun-daunnya layu terkena panas api. Untung yang ini bisa diselamatkan. Liu terengah-engah. Nafasnya senin kamis dengan peluh seperti disiram dari kran. Ia tidak memakai baju. Panas pukul satu sangat menyengsarakan bersama api yang naik pitam.

Setelah api itu tidak lagi membahayakan, Liu pergi menuju dua pohon ransa (seperti pohon sawit) di tepi kebun. Ia berteduh di situ. Lelah yang luar biasa. Lega. tetapi …

Tidak sampai dua meter dari tempat Liu duduk, ternyata ada sarang penyengat. Penyengat tiba-tiba keluar dari sarangnya dan mengeluarkan jarumnya dan menusukkan satu di kening dan satu di belakang leher Liu. Sakitnya bukan main. Ia tak berdaya.

Liu tumbang. Ia tekapar dan pingsan di situ.

***

 Seekor penyengat perempuan melihat sosok manusia terkapar di dekat sarang mereka. “Apa sebab orang itu terbaring di situ?” Ia menunjuk ke arah sosok itu.

“Aku yang menancapkan dua jarum kepadanya tadi. Satu di kening dan satu di belakang leher,” jawab Spunti. “Bagaimana kalau dia mati dan membusuk di dekat rumah kita ini? Tanya si penyengat perempuan lagi dengan raut muka kesal.

“Itu kan tugas saya sebagai security. Mengamankan rumah kita dari setiap ancaman,” Spunti membela diri. “Mengapa kau langsung mematikannya? Seharusnya kau beri peringatan dulu bahwa sosok itu berada dekat rumah kita. Kalau kau beri peringatan dulu, dia mungkin akan pergi.” Spunti menunduk. Mungkin menyesal. Sebab, pasti akan datang pembalasan. Dua pohon ransa bisa saja dibumihanguskan oleh manusia. Semua penyengat dapat saja celaka. Bahkan mati.

“Kenapa ribut-ribut?” seekor penyengat tua, tinggi besar dan berambut uban datang. “Itu … itu pak? Ada sosok yang celaka karena perbuatan gopoh Spunti,” kata si penyengat perempuan. Ada perdebatan cukup lama diantara sesama mereka. Beberapa penyengat dan anak-anak mereka juga menyaksikan. Sang pemimpin ikut kesal.

“Kau cari anti racun,” kata si pak tua, si pemimpin sarang. Namanya Jabu. Jabu lalu hilang dari kerumunan.

***

 Liu berada di sebuah kota nan indah. Asing sekali. Cuaca dingin. Ia melihat manusia yang lalu lalang dan semua memakai pakaian musim dingin.

Liu membuka hp dan mengecek suhu. Minus satu. Untung ia sudah menggunakan pakaian musim dingin, sarung tangan, tutup kepala dan lipstick untuk mengatasi bibir pecah. Ketika angin bertiup, dinginnya sampai ke tulang. Liu pernah tinggal di negara bermusim dingin lebih dari 20 tahun lalu. Kali ini ia bertemu lagi dengan musim seperti itu.

Ia terus berjalan menyusuri pusat kota. Kota yang bersih, jalan lebar, mobil-mobil memenuhi jalan, tertib. Sepeda motor bisa dihitung dengan jari. Ia tidak mengerti percakapan di antara orang yang lalu lalang itu. Di sisi kiri kanan ruko-ruko atau outlet bisnis. Dan banyak gedung bertingkat dan apartemen. Liu merasa beruntung bisa berada di kota seindah ini. Dia terus berdialog dengan dirinya sendiri.

Selama perjalanan menyusuri kota itu, ia melihat banyak menara Gereja. Gereja apakah itu ya? Liu Katolik. Jadi, ia pingin tahu mana yang gereja Katolik dan mana yang bukan. Ya, udahlah. Jangan ribet. Lalu ia melihat merek-merek mobil yang berjejer rapi menunggu lampu lalu lintas berwarna hijau. 1, 2, 3, 4 itu Hyndai. 5, 6, 7, 9, 10 itu KIA. Dua merek itu mendominasi. Kota apa ini ya?

Dalam perjalanan menyusur jalan kota itu, Liu bertemu peristiwa menarik. Sebuah mobil menabrak bagian belakang sebuah sedan BMW. Kalau di negara Konoha, dua sopir yang bertabrakan seperti itu pasti akan bertengkar, adu mulut bahkan adu jotos. Tidak di kota asing ini. Kedua sopir itu turun dari mobil dan menelpon perusahaan asuransi. Tanpa cekcok. Tetap senyum dan bersahabat. Mereka kemudian meninggalkan mobil itu di jalan dan pergi ke suatu tempat dengan naik taksi. Terus bagaimana dengan dua mobil yang bertabrakan tadi. Itu urusan perusahaan asuransi. Begitu ya? Tidak ada kegaduhan.

Ia memandang ke atas gedung tinggi. SEOUL. Ia membaca kata itu dari kejauhan yang tertulis di dinding lantai 20 sebuah bangunan. Tulisan yang sangat jelas. Barulah Liu sadar kalau dia berada di Seoul, Korea Selatan.

Bagaimana kisah Korea Selatan semaju ini ya? Kemajuan di Korea Selatan bak kemajuan di negara Paman Sam. Sepertinya itulah yang menginspirasi mereka dalam membangun negaranya.

Di awal kemerdekaan, Korea Selatan sangat miskin. Pada 1957, 20 orang anak muda mendapatkan beasiswa Fullbright dari Pemerintah Amerika Serikat untuk studi lanjut di berbagai universitas di Amerika Serikat. Usai studi di sana, anak-anak muda ini kembali ke Korea dan membangun sebuah pabrik di Korea. Karya mereka itu menjadi tonggak awal kemajuan di Korea.

Konon, pada 1970, rumah-rumah di kiri kanan jalan di Seoul masih kumuh. Lima puluh tahun kemudian, segalanya berubah. Rumah-rumah kumuh itu sudah pergi semua. Korea Selatan menjadi negara kaya. Negara ini tidak memiliki sumber daya alam yang berlimpah. Negara berbukit-bukit. Mereka mengejar ketinggalan dengan membangun kualitas sumber daya manusia warganya. Kualitas pendidikan di Korea Selatan adalah salah satu yang terbaik di dunia. Ketika kualitas SDM bagus, memiliki kecerdasan watak dan kecerdasan otak, negara itu dapat mengejar ketertinggalan dengan cepat. Korea Selatan menjadi negara maju dengan pendapatan per kapita yang tinggi, USD 35.000. Bandingkan dengan negara Konoha yang kaya dengan sumber daya alam, pendapatan per kapita USD 4.580. Jauh kan?

Liu sampai di depan Statue of Gangnam Style di Gangnam. Patung tangan manusia bersilang berwarna perunggu. Ia selfie di bawah patung tangan itu. Lumayan, nanti bisa diposting di fesbuk, pikirnya.   

***

Liu masuk ke sebuah supermarket besar di kota itu. Ini kali pertama. Bercelana pendek, kasut sport, dan baju kaos. Orang yang datang berbelanja di supermarket itu ramai sekali. Liu memperkirakan omzet supermarket ini bisa mencapai 1 miliar rupiah per hari. Supermarket itu berlantai tiga. Lantai 1 untuk food dan non-food. Lantai 2 untuk pakaian orang dewasa dan lantai 3 untuk pakaian anak-anak. Halaman parkir luas dan penuh dengan kendaraan para pengunjung yang berbelanja.

Setelah memasukkan 5 buah mie instant dan 5 pop mie ke dalam keranjang, Liu menuju kasir. Kini dompet Liu tidak setebal sebelumnya. Ia keluar dari supermarket itu dan menuju kedai kopi di depan supermarket. Ia memesan secangkir kopi dan mengambil 2 buah  bakwan isi ikan tri.

Liu duduk satu meja dengan seorang penikmat kopi lain. Perawakannya biasa saja. Ia juga bercelana pendek dan berbaju kaos.

Liu bekenalan dengan orang itu. Saya Liu, mereka bersalaman, apa kabar pak? Baik, katanya. Saya Nyawai. Sosok itu ternyata bernama Nyawai. Mereka bercakap-cakap santai. Ngaur gidul kemana-mana. Nyawai ternyata ramah dan berwawasan luas.

Liu melihat ke atas dan membaca papan nama yang terpampang jelas di dinding supermarket, menghadap ke kedai kopi. Baru dia sadar kalau supermarket itu bernama i-JAZZ. i-JAZZ Supermarket.

“Apa yang pak Nyawai ketahui tentang supermarket i-JAZZ ini?” Liu ingin tahu.

“Oh… banyak. Kisahnya panjang. Sekarang i-JAZZ sudah berusia 30 tahun dan ada di 10 kota.” i-JAZZ itu sebuah Grup Koperasi. Setidaknya ada sekitar 50 koperasi dalam grup ini. Bahkan mereka juga memiliki sekolah dan perguruan tinggi. Universitas Musangkong yang terkenal itu pernah dengar? Itu ada dalam grup mereka.

“Hebat sekali ya? Bisa ya koperasi sebesar itu? Baru saya tahu,” Liu menyela.

Nyawai melanjutkan ceritanya dengan penuh semangat dan rasa bangga. Tiga puluh tahun lalu, rombongan 14 orang, termasuk satu kepala rombongan,  melakukan studi banding ke i-Coop, Korea. Grup koperasi konsumsi dan koperasi produksi yang sangat terkenal di dunia. Kala itu i-COOP sudah berusia 30 tahun. Rombongan itu adalah orang-orang yang sudah puluhan tahun bergelut dalam gerakan koperasi di akar rumput. Umumnya dalam provinsi ini saja sih. Tapi ada satu orang diantara rombongan itu berasal dari Langgur, Maluku Tenggara. Mereka mencari inovasi baru untuk gerakan koperasinya.

Terus…!

Waktu itu hari Sabtu. Mereka hendak kembali ke tanah air, setelah kunjungan selama lima hari, Senin sampai Jumat. Senin dan Jumat mereka eksposure ke Sungkonghoe University, di pinggiran kota Seoul. Sekitar satu jam naik taksi kalau pergi ke Gangnam yang terkenal itu. Banyak yang mereka pelajari di sana. Perguruan tinggi sangat berperan dalam mengembangkan koperasi di sana, secara khusus di i-COOP. Lulusan universitas ini kebanyakan bekerja di gerakan koperasi di Korea.

Selasa sampai kamis mereka belajar di Goesan Natural Dream Park. Tiga jam dari Seoul dengan Bis. Di situ mereka banyak menemukan hal baru dalam mengembangkan koperasi.

Pada hari Jumat turun salju pertama di kota Seoul. Sebagian besar dari mereka baru melihat salju turun. Mereka gembira sekali. Bahkan ada yang bilang itu benar-benar rejeki.

Konon. Pesawat yang akan membawa mereka pulang akan take-off dari Bandara Incheon pukul 10:35. Tidak mau ketinggalan pesawat, mereka harus menuju bandara pukul 05:00 pagi. Pukul 05:00 pagi pada musim dingin masih gelap, matahari masih belum mau membuka matanya. Terang muncul pada pukul 07:15. Ketika musim panas, matahari terbit pukul 04:00 pagi.

Sebuah mini bis sewa sudah parkir di depan hotel tempat mereka menginap di Seoul.  Suhu di luar di bawah nol. Bibir para peserta memerah dan bahkan sudah ada yang pecah-pecah. Menuju bis dengan cara berlari dan melompat akibat udara yang begitu dingin.

Pukul 05:00, 12 orang sudah di dalam bis kecuali Jemadun. Namun, kepala rombongan baru akan meninggalkan Seoul esok hari, minggu. “Jemadun mana, Jemadun mana?” Teriak beberapa orang di dalam bis. "Tidak tahu," jawab yang lain. Orang-orang di dalam bis sedikit gelisah, kalau-kalau Jemadun malah belum bangun. Untunglah, tidak berapa lama, Jamadun muncul dari balik pintu hotel dengan membawa koper dan tas jinjing. Ia langsung masuk ke dalam bis. Pintu bis ditutup dan bis mulai bergerak menuju bandara.

Jemadun duduk di kursi bis paling belakang. Baru sekitar 10 menit bis berjalan, Jemadun berdesah. “Wah….jas dan baju saya ketinggalan di kamar hotel,” “Jas yang mana?” kata teman di sebelah. Jas dan baju yang saya pakai kemaren waktu kita pergi ke Patung Gangnam Style, di Gangnam.

Muncul banyak ide dari rekan-rekan di dalam bis bagaimana menyelamatkan jas itu. Ada yang bilang, sekarang Jemadun turun dari bis, cari taksi ke hotel, ambil jas itu dan minta antar taksi ke bandara. Ada macam-macam ide lain. Tetapi, biaya untuk mengambil jas itu pasti di atas satu juta rupiah. Sementara harga jas dan baju tidak segitu lagi. Bagus beli jas baru.

Uju duduk di kursi depan Jemadun. “Dun, dengan pengalaman ini, coba minimarket anda ganti nama menjadi i-JAZZ. Semua orang di dalam bis tertawa dengan ide spontan itu, kecuali sopir, yang warga Korea. “Bisa jadi sejarah dan kenangan, apalagi kalau i-JASS berkembang pesat” lanjut Uju. Jemadun keberatan. “Tapi” kata Uju lagi, kita mungkin dapat ide gila atau ide segar setelah kunjungan ke i-COOP. Rekan-rekan yang lain tertawa lagi. Setelah satu jam, rombongan itu tiba di Bandara Incheon. Cerita itupun habis ditelan masa.

“Terus bagaimana dengan ide mendirikan supermarket dengan nama i-JAZZ pak Nyawai?” tanya Liu.

Itu dia. Akhirnya Jemadun dan rekan-rekannya benar-benar mendirikan supermarket ini 30 tahun lalu setelah studi banding ke i-COOP dan benar-benar diberi nama i-JAZZ. Katanya supermarket ini didirikan untuk balas budi kepada para anggota koperasi mereka. Para anggota setuju mengeluarkan biaya agar Jemadun dan dua kawannya dapat pergi belajar ke i-COOP, Korea.

Ceritanya terkesan lucu ya…

i-JAZZ bekembang pesat seperti sekarang. Ini adalah koperasi konsumsi yang dimiliki oleh 10.000 anggota, umumnya para anggota berdominsili di kota ini. Kalau dihitung-hitung karena ada 10 supermarket seperti ini, maka ada 100.000 anggota koperasi i-JAZZ. Besar sekali kan? Saya salah satu anggotanya. Nyawai menunjukkan rasa bangganya.

“Jemadun pionirnya?”

Betul pak Liu. Kini pak Jemadun sudah tua tapi masih terlibat mengawal i-JAZZ ini. Secara keseluruhan boleh dikata beliaulah yang menjadi arsiteknya. Sekarang siapa yang tidak kenal i-JASS. Bukan hanya itu, grup i-Jazz ini juga punya banyak pabrik yang mengolah bahan mentah yang dihasilkan oleh koperasi produksi di desa-desa menjadi bahan jadi. Semua produk hilir yang dihasilkan dijual di i-JAZZ supermarket ini. Saya ikut pendidikan koperasi i-JAZZ suatu hari dan yang saya ceritakan ini adalah yang saya dengar dari kisah yang dituturkan pak Jemadun sendiri.

Liu dan Nyawai terdiam sejenak. Kayaknya Liu sedang menyerap cerita itu.

"Masih ada cerita yang lebih seru pak Nyawai tentang lahirnya i-JAZZ ini?"

"Memangnya Liu mau menjadi anggota koperasi i-JAZZ?"

"Boleh juga. Kalau itu hal baik mengapa ditolak?"

Nyawai melanjutkan…

Kelompok Jemadun ini telah mendirikan CU hampir 22 tahun. Empat tahun sebelum ulang tahun CU ke 22, mereka melakukan spin-out (pemekaran) CU. Mereka mendirikan koperasi konsumsi dengan membuka toko kecil. Tapi tidak berkembang. Mungkin mental mereka masih mental CU, belum move-on ke koperasi sektor riil. Masih setengah hati. Begitulah opini saya. Nyawai berusaha menyusun kata-kata menjadi narasi yang bagus.

Menurut cerita pak Jemadun ketika saya ikut pendidikan koperasi waktu itu bahwa apa yang mereka temukan di i-COOP seperti ini. Para anggota koperasi konsumsi adalah mereka yang secara ekonomi sudah mapan, bukan untuk kelas menengah ke bawah. Toko harus besar seperti supermarket ini. Kalau buka toko yang kecil-kecil, maka akan bersaing dengan toko-toko anggota di akar rumput. i-JAZZ harus berada di kota-kita besar, semisalnya di ibu kota Kabupaten. Jangan buka di kota-kota kecil, karena itu sudah dikuasai masyarakat kelas bawah. Di sana ada banyak anggota CU yang juga buka toko. Jangan ganggu mereka.

 Terus bagaimana dengan masyarakat di desa-desa pak?

Itu harus dikerjakan oleh Koperasi Produksi. Koperasi produksi harus berbasis komoditi. Misalnya para petani sawit mendirikan koperasi petani sawit. Para petani kakao mendirikan koperasi kakao. Para petani karet mendirikan koperasi getah. Dan itu mereka kerjakan. Mungkin lebih dari 20 koperasi produksi yang tergabung dalam grup i-JAZZ ini pak. Semua koperasi produksi bekerja di sektor hulu, di petani. Mereka memproduksi TBS, kepingan getah, jagung, kakao, dan lain-lain.

Ketika mereka ke i-COOP, mereka mengunjungi dua pabrik, mereka sebut factory. Pabrik pengolahan makanan otak-otak dari ikan yang mereka import dari laut di Alaska. Otak-otak yang mereka produksi kualitas premium dari segi kandungan gizi. Di dalam kawasan Goesan Natural Dream Park yang luas ada satu gedung yang khusus melakukan riset tentang kandungan makan sehat. Pak Liu tahu lahirnya i-COOP di Korea karena mereka melihat fakta menarik yaitu 5% warga korea terkena kanker. Jadi lahirnya i-COOP karena ada keprihatinan dan ada kebutuhan anggota untuk mencari solusi atas masalah itu. Ternyata itulah fokus kerja i-COOP.

Pabrik yang kedua yang mereka kunjungi adalah pabrik pengolah rumput laut. Hasil olahan rumput laut dijual di supermarket mereka. Supermarket i-COOP ada di kota Suwon, tidak jauh dari Seoul. Disana gedung i-COOP ada lima lantai. Lantai 5 Café, Lantai 4 Restoran, Lantai 3 kayak rumah sakit kanker, lantai 2 toko i-COOP dan lantai satu untuk konsultasi kesehatan. Tiap hari rata-rata 3.000 anggota datang ke tempat itu.

Dari apa yang mereka lihat saat kunjungan itu, mereka terapkan dengan modifikasi di sana sini. Kini, i-JAZZ juga punya banyak pabrik pengolahan. Misalnya pabrik pengolahan buah kakao menjadi minuman sehat. Pabrik pengolahan jagung hibrida menjadi pakan ayam petelor, dan lain-lain.

Bisnis i-JAZZ berjalan setahap demi setahap. Pabrik-pabrik yang ada sekarang, dulu mulai dari rumah-rumah produksi yang sederhana dan kecil. Kayak usaha rumahanlah. Jadi tidak langsung besar seperti yang kita lihat saat ini.

Peran universitas juga sangat strategis. Disana ada Sungkonghoe University. Sama halnya, I-JAZZ juga punya perguruan tinggi seperti yang saya katakan di cerita awal tadi, Universitas Musangkong. Sebelum menjadi universitas Musangkong berupa sekolah tinggi dengan beberapa prodi saja.

“Bermanfaat sekali kunjungan mereka ke i-COOP kala itu kalau begitu ya?”

“Betul sekali.” Para anggota kini menikmatinya.

“Apa rahasia membangun grup koperasi seperti ini menurut pak Nyawai? Tanya Liu.

Cari tahu kebutuhan anggota dan penuhi kebutuhan itu. Didik anggota agar selalu melaksanakan prinsip tolong menolong. Tanamkan terus prinsip itu. Cinta tolong menolong berarti cinta dan berjiwa koperasi.

“Tiga puluh tahun yang lalu Korea sudah menjadi negara maju bukan? Apakah semakin maju suatu negara, gerakan koperasi juga semakin maju?”

Nyawai terdiam. Itu yang terjadi pak Liu. 

Hp Nyawai berdering. "Maaf pak Liu, saya jawab telpon ini dulu."

"Silahkan pak."

"Pak Liu maaf ya, saya harus jemput anak. Biasanya isteri saya yang jemput, sekarang ia berhalangan. Mungkin dia masih asik menonton drama korea, ha… ha… ha… Canda pak!"

 ***

Liu berdiri dekat sebongkah batu di depan jalan masuk kampus. Di batu itu tertulis Sungkonghoe University. Dulunya kawasan itu adalah milik Gereja Anglikan Korea seluas 4 ha. Kala itu tahun 1916. Berubah menjadi universitas pada tahun 1994. Univeritas ini memfokuskan diri untuk kemajuan koperasi di Korea Selatan. Hanya ada program S2 dan S3 dengan jumlah mahasiswa 2.000 orang. Lulusan universitas ini umumnya bekerja di gerakan koperasi di seantaro Korea.

Liu menulis frase “Legacy of the Stone” di selembar kertas HVS putih dengan spidol warna biru dan …. Iapun berselfie dengan tulisan itu.

***

Tajir sudah lama menunggu Tuannya, Liu. Liu belum makan. Ketika Liu datang, Tajir langsung menyantap nasi bungkus yang dibawa Liu. Jadi Tajir pasti belum lapar. Akhirnya Tajir pergi mencari tuannya itu. Entah bagaimana, sekali lagi insting Tajir bekerja. Ia langsung menuju dua pohon ransa di tepi kebun.

Ketika Tajir mendekati pohon itu, Spunti langsung melihat Tajir. Ia keluar sarang. Kali ini Spunti tidak akan menghujamkan jarum beracunnya ke si Tajir. Ia meneteskan tujuh tetes anti racun di selembar daun di tanah. Racun itu serasa madu. Itulah yang diperintahkan Jabu, sang pemimpin mereka. Spunti berharap Tajir menjilatnya dan kemudian menjilat kening dan bagian belakang Liu yang sudah terkena racun.

Benarlah, Tajir langsung mencium bau madu itu. Ia menjilatnya. Kemudian, ia menuju tubuh Liu yang tergeletak, tapi masih bernafas. Ia mendengus untuk membangunkan Liu. Tapi tidak ada respon. Tajir lalu menjilat benjolan di kening Liu bekas tusukan jarum beracun Spunti. Lalu Tajir juga menjilat benjolan di belakang leher Liu. Anti racun itu langsung bekerja.

Liu membuka matanya dan melihat ke atas. Ada banyak daun ransa di sana. Ia lalu teringat, kalau ia baru saja digigit penyengat. Ia pelan-pelan duduk, lalu melihat jam. Pukul 4 sore. Sekitar tiga jam pingsan, ia berhitung. Ia angkat kaki pelan-pelan dari situ agar tidak mengganggu ketenangan sarang penyengat. Tajir berjalan di depan Liu menuju pondok. Ia ingat ada minyak batu di pondok untuk obat anti penyengat. Dalam perjalanan ke pondok, ia mengingat seluruh cerita selama dirinya pingsan.** - TAMAT.

 

Seoul, 18-11-2023

Liu Ban Fo

  

Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url