Pendidikan Emansipatoris: Kado untuk Melepas Mas Menteri Nadiem

  • Guru: agen pendidikan emansipatoris, pak! Bukan pelatih senam ketangkasan.

SANGGAU NEWS : Barangkali sejarawan Perancis, Roger Gal, telah mencatat kritik Ki Hajar Dewantara terhadap pendidikan Barat dalam karyanya yang berjudul "Histoire de L'Education".

Menurut Gal, sistem pendidikan terkait erat dengan berbagai aspek masyarakat, seperti: ekonomi, sosial, politik, agama, dan kondisi sosial yang ada (situation humaine).

Oleh karena itu, sistem pendidikan tidak boleh dibangun secara sepihak. Pendidikan (nasional) harus memperhatikan berbagai kebutuhan, cita-cita, dan jiwa zaman. Sudah tentu, dengan mempertimbangkan kekhasan dan kebutuhan masing-masing daerah yang di satu pihak ada kesamaan; namun lebih banyak perbedaannya. Sesuai dengan asas "bhineka tunggal ika", bukan bhineka tingal eka, yakni: keseragaman.

Karena itu, sentralisasi pendidikan adalah warisan zaman kolonial! Kita merasakan, era reformasi tidak banyak perubahan mendasar di berbagai bidang kehidupan berbangsa dan bernegara. Mengapa? Sebab di satu pihak kepala dilepas, sementara di pihak lain; ekor dipegang. berbeda dengan sistem pengelolaan federasi.

Sistem pendidikan harus mencerminkan seluruh kehidupan, termasuk aspek ekonomi dan teknologi, perkembangan gagasan, adat istiadat, dan yang paling penting, perspektif kemanusiaan dalam sejarah peradaban.

Pendidikan diharapkan mampu menghasilkan perkembangan lembaga dalam diri individu, mulai dari lingkungan sekolah hingga peran gereja yang awalnya memiliki aspirasi emansipatorik.

Tampaknya, kita akan ganti kurikulum dan peraturan lagi. Ibarat ngisi bensin motor, dan mobl: meteran mulai dari 0 (nol) lagi.

Prof. Dr. Fuad Hasan --pakar filsafat eksistensialisme-- (Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia ke-19 (3 Juni 1985 – 17 Maret 1993), "pendidikan emansipatorik" adalah penciptaan lingkungan di mana manusia dapat berkembang secara mandiri dan mencapai potensi penuhnya. Hal ini mencakup transformasi individu menjadi pribadi yang mandiri dan tidak hanya terbatas pada prestasi akademis, melainkan juga pada kemampuan praktis dan kemampuan berpikir kritis.

Baca Heppi Ramat: Dari Pedalaman Malinau "Mengajari" Orang Jakarta

Pentingnya pendidikan emansipatorik dihubungkan dengan peran universitas sebagai lembaga pendidikan yang muncul pada abad ke-13, seperti Universitas Paris, Oxford, Naples, Cambridge, Montpellier, Coimbra, dan Lisbon. Namun, pertanyaan penting adalah bagaimana tujuan pendidikan ini dapat diimplementasikan dalam sistem pengajaran di sekolah.

Pendidikan tidak boleh terbatas hanya pada pengajaran di sekolah, melainkan juga melibatkan keluarga dan masyarakat sebagai pendidik utama. Ilmu pengetahuan bukan hanya untuk kepentingan individu, tetapi juga untuk melayani masyarakat.

Oleh karena itu, sekolah harus memiliki tanggung jawab yang lebih luas, tidak hanya terbatas pada bidang akademik. Konsep ini mengakui bahwa pendidikan bukanlah sekadar perkejaran untuk diri sendiri, tetapi merupakan alat untuk mengabdi kepada kemanusiaan.

Era Orde Baru, rasa-rasanya pendidikan moral bangsa Indonesia lebih terkonsepkan dengan sangat baik. Sampai kepada pelaksaaan dan implementasinya. Lengkap dengan pedomannya.

Sebagai konsekuensi logis dari pemikiran ini, sistem pendidikan harus berusaha untuk mengintegrasikan unsur-unsur masyarakat, cita-cita, kebutuhan, kepentingan, dan aspek kemanusiaan dalam pendidikan, sehingga menciptakan lingkungan yang mendukung perkembangan individu dan masyarakat secara keseluruhan.

Baca Dafi: Dayak Ganteng Dan Pintar Peraih Olimpiade Sains

Sayang, belum cukup waktu untuk membuktikan buah dari konsep "merdeka belajar", keburu tahun depan ganti menteri.

Tampaknya, kita akan ganti kurikulum dan peraturan lagi.

Ibarat ngisi bensin motor, dan mobil: meteran mulai dari 0 (nol) lagi.

Benarlah pameo ini: ganti menteri, ganti peraturan.

Pendidikan di Indonesia dan Nusantara telah mengalami banyak perubahan seiring berjalannya waktu. Kemerdekaan Indonesia adalah tonggak penting dalam sejarah pendidikan di Nusantara. Setelah merdeka, pendidikan menjadi lebih terpusat dan nasional dengan upaya untuk membangun sistem pendidikan yang merdeka dan mandiri.

Sementara Kurikulum pendidikan di Indonesia telah mengalami perubahan signifikan. Dari kurikulum yang berbasis pada konten (contents-based), pendidikan telah berubah menjadi lebih menekankan kurikulum nasional (Kurnas) dengan pengintegrasian muatan lokal. Hal ini bertujuan untuk mempromosikan identitas budaya setempat.

Dan kini Merdeka Belajar. Konsep "merdeka belajar" adalah pendekatan pendidikan yang memberikan lebih banyak otonomi kepada siswa dalam proses belajar mereka. Siswa diberikan kebebasan untuk memilih mata pelajaran dan metode pembelajaran yang sesuai dengan minat dan potensi mereka.

Meskipun dibuat perubahan kebijakan kurikulum dan pendekatan pendidikan, yang sebenarnya terjadi adalah "anggur lama kirbat baru".

Perhatikan bentuk kelas kita: Semuanya klasikal! Dengan guru di depan kelas dan siswa-siswa duduk dalam barisan, tetap menjadi bentuk yang umum di banyak sekolah di Indonesia.

Ruangan kelas yang berbentuk setengah lingkaran atau lingkaran masih belum menjadi standar dalam sistem pendidikan.

Diakui perubahan dalam pendidikan adalah suatu hal yang mendasar untuk terus meningkatkan kualitas pendidikan dan relevansinya dengan perkembangan zaman. Tentu saja, dengan tetap mempertahankan nilai-nilai budaya dan identitas lokal, pendidikan di Nusantara dan Indonesia dapat terus beradaptasi dengan tuntutan zaman yang terus berubah.

Identitas dan nilai luhur bangsa Indonesia, tentu saja tercermin dari buah-buah pendidikan di sekolah. Adakah buah-buah itu kita petik, dan nikmati saat ini?

Era Orde Baru, rasa-rasanya pendidikan moral bangsa Indonesia lebih terkonsepkan dengan sangat baik. Sampai kepada pelaksaaan dan implementasinya. Lengkap dengan pedomannya.

Menurut teori, negara Leviathan boleh "memaksa" warga untuk hal yang baik dan berguna. Sebab di balik kewajiban warganegara, ada nilai dan kebaikan!

Di sini Kant bicara tentang etika deotologi. alam deontologi, terdapat keyakinan bahwa beberapa tindakan atau aturan moral memiliki status absolut. Artinya aturan negara adalah kewajiban yang harus diikuti tanpa tergantung pada konsekuensi atau akibatnya.

Sementara para ahli pikir, filsuf Yunani kuno, menerangkannya lebih spesifik, karena itu, cukup rumit. Dalam hal negara mewajiban nilai, sesuatu yang baik, disebut "υποχρέωση" (hypochréosi). Kata ini merujuk pada kewajiban atau tanggung jawab yang harus dipatuhi oleh individu dalam masyarakat sesuai dengan hukum atau norma yang berlaku.

Seperti era dahulu Orde Baru mewajibkan sisswa dan mahasiswa belajar Pendidikan Moral Pancasila (PMP), P-4, dan menghafal (memahami) butir-butirnya, serta dapat mengidentifikasi pengalamannya dalam kehidupan sehari-hari.

(Rangkaya Bada)

Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url