Belajar dari Vereenigde Oostindische Compagnie - VOC : Modal Nekad (1)

  • Saya di latar depan di mana dahulu kala ditambatkan kapal-kapal VOC.
Tinggal di Batavia, saya merasa sungguh beruntung. Sudah lebih dari tiga puluh tahun saya minum air ledeng dan mengambil air sumur di wilayah yang pernah dikuasai oleh Kompeni Hindia Belanda. 

Rasa ingin tahu terhadap sejarah yang dulunya hanya pelajaran di bangku sekolah. Pada akhirnya, mengusik nurani saya. Itulah yang mendorong saya berkali-kali mengunjungi pelabuhan Sunda Kelapa, juga kota tua. Tempat bersejarah yang memikat hati saya sebagai seorang peneliti dan penulis.

Tak terhitung berapa kali kakiku telah merasakan tanah di antara debu Kota Jakarta, pasir pelabuhan, dan mendengar deru knalpot Kota Batavia. Kota Jakarta adalah saksi bisu dari begitu banyak perubahan sepanjang sejarahnya.

Seringkali, perjalanan saya membawa pikiran saya melintasi waktu hingga mencapai empat abad yang silam. Pada masa itu, nenek moyang kita belum memiliki daya dan kendali atas tanahnya. Namun, sekarang sejarah telah berputar dan memainkan peran yang berbeda. 

Dahulu, orang Dayak disebut "pagan," tetapi kini mereka yang menganggap kita sebagai "pagan." Hal ini membuat saya merenung dan bertanya-tanya tentang kebenaran kata-kata ini: "Siapa yang tidak belajar dari sejarah, akan dikutuk oleh sejarah."

Oleh karena itu, saya mulai melakukan penelitian, menulis, dan akhirnya mempublikasikan serial tulisan yang diberi judul seperti yang Pembaca saksikan sekarang. Topik ini begitu luas dan dalam, termasuk cerita tentang kapal selam Belanda, Nederland Indie Rubber (NIRUB) yang tenggelam di muara Sungai Sekayam, yang tidak jauh dari jembatan gantung. 

Apakah Anda pernah mendengar tentang peristiwa ini? Saya juga akan menulis tentang karet unggul, Land Baw, dan kopi robusta yang merupakan peninggalan berharga VOC dan masih dibudidayakan di kampung halaman saya, Jangkang.

Historia docet. Sejarah adalah guru terbaik. Mari kita belajar dari sejarah agar tidak dihantui oleh kutukan sejarah. Sejarah adalah cermin bagi masa depan kita, dan pengetahuan tentang masa lalu dapat membimbing kita menuju masa depan yang lebih baik.

***

Keindahan langit Jakarta yang diterangi semburat warna merah bianglala menciptakan suasana magis di sekitar pelabuhan Sunda Kelapa. Pantai ini selalu menjadi saksi bisu dari perjalanan kehidupan, bahkan sejak zaman dahulu. Dulu, pelabuhan ini adalah satu-satunya tempat yang menjadi persinggahan bagi para pedagang mancanegara yang berlayar ke wilayah Nusantara.

Ketika saya melangkah masuk ke pelabuhan Sunda Kelapa, saya tak bisa menahan perasaan kagum dan rasa ingin tahu. Saya membayangkan diri saya sebagai seorang "meneer" yang mengatur segala urusan di sini pada masa kejayaan Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC).

Dengan keheranan dan kekaguman yang memenuhi pikiran saya, pertanyaan-pertanyaan mulai muncul. Saat itulah, sudut pandang saya terhadap Kompeni Hindia Belanda mulai berubah. Hari ini, pada tanggal 30 Januari 2021, saya ingin berbagi pemikiran saya tentang pengalaman ini.

Memutar kembali sejarah VOC membawa kita ke zaman di mana perjalanan dengan kapal menuju Batavia penuh dengan intrik dan bahkan pembunuhan sesama penumpang. Ironisnya, kekejaman ini seringkali lebih mengerikan daripada persepsi kita terhadap suku asli Borneo, yang dianggap "liar" dan "belum beradab."

Ada beberapa alasan di balik kejatuhan VOC, di antaranya adalah korupsi di kalangan pejabat VOC di berbagai cabangnya. Di samping biaya yang besar untuk perang dan upaya melawan raja-raja lokal di Nusantara.

Saat berdiri di depan galangan kapal yang megah dan mercusuar yang kokoh, saya merenung. Seiring dengan rasa kagum, saya teringat akan guru sejarah saya, Amok, yang begitu bersemangat menceritakan sejarah pelabuhan Sunda Kelapa dan peran pentingnya bagi VOC ketika saya masih kecil pada tahun 1970-an.

Dulu, kita hanya membaca tentang sejarah ini di buku pelajaran. Namun, sekarang saya ingin mengikuti jejak Kompeni, karena saya ingin menjadi bagian darinya. Sejarah VOC, khususnya perniagaan lada di Nusantara, sangat menarik bagi saya.

Julukan "the king of spices" atau "rajanya rempah-rempah" tidak pernah lepas dari tanaman bernama Latin "piper nigrum," tumbuhan monokotil yang memiliki berkeping satu. Rempah ini tidak hanya menghangatkan badan dan menyehatkan tubuh, tetapi juga menyedapkan segala masakan. Rempah ini sangat digemari oleh suku bangsa, terutama Eropa, dan orang-orang yang tinggal di daerah dingin, namun juga menjadi bumbu penyedap yang tak tergantikan di daerah tropis.

Meskipun latar belakang akademis saya adalah sebagai sarjana filsafat dan master ilmu sosial, saya memiliki ketertarikan khusus dalam sejarah. Belakangan ini, penelitian saya fokus pada sejarah, terutama yang berkaitan dengan suku Dayak dan kebudayaan Dayak. Saya selalu menggunakan pendekatan konstruktif-interpretif daripada pendekatan historiografi dalam penelitian saya.

Saya menemukan fakta mengejutkan bahwa Tanah Dayak hanya dijajah oleh Belanda selama 40 tahun, sementara Tanah Jawa dijajah selama 3,5 abad. Fakta sejarah ini harus disampaikan dengan jujur kepada anak cucu kita.

Kemudian, mari kita berbicara tentang kenaikan dan kejatuhan VOC. Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) didirikan pada tanggal 20 Maret 1602 sebagai persekutuan dagang dari Belanda yang menguasai perdagangan di seluruh Asia. Dengan 17 tuan yang dikenal sebagai "Heeren XVII," VOC menjadi kekuatan dominan di wilayah Nusantara selama hampir 350 tahun.

  • Suasana dan ruang rapat Ruang Heeren XVII di East India House di Amsterdam, 1771. Simon Fokke.
"Heeren XVII" atau "Gentlemen Seventeen" adalah nama untuk dewan direksi dari VOC yang didirikan pada tahun 1602. Badan eksekutif pusat ini terdiri dari perwakilan dari enam kamar konstituen VOC, yang berlokasi di kota-kota tempat "perusahaan-perusahaan pra" sebelumnya telah didirikan: Delapan perwakilan berasal dari Amsterdam, empat dari Middelburg (Zeeland), dan satu dari masing-masing empat kamar yang lebih kecil, yaitu Rotterdam, Delft, Hoorn, dan Enkhuizen. 

Anggota ketujuh belas ditunjuk secara bergantian oleh Zeeland atau salah satu kamar kecil tersebut. Secara teoritis, Amsterdam dapat dikalahkan dalam pemungutan suara, tetapi dalam praktiknya, kekuasaan kamar besar ini terhadap yang lebih kecil adalah sedemikian kuat sehingga biasanya dapat mengambil keputusan sesuai dengan kehendaknya. 

Heeren Seventeen bertemu dua atau tiga kali setahun di kamar yang memimpin, entah itu di Amsterdam (selama enam tahun berturut-turut) atau Middelburg (selama dua tahun berturut-turut). Waktu pertemuan ini, yang biasanya berlangsung selama empat hingga lima minggu, bersamaan dengan ritme lalu lintas pengiriman antara Republik Belanda dan Asia. 

Direktur-direktur baru harus diangkat oleh majelis provinsi, yaitu majelis Provinsi Holland dan Zeeland, dari daftar pendek yang disiapkan oleh direktur-direktur yang sedang menjabat. 

Namun, kekuasaan ini segera direbut oleh dewan kota-kota di kamar-kamar tersebut. Sebagian besar karena kebijakan penunjukan ini, terjalin hubungan erat antara oligarki penguasa, anggota dewan kota, dan direktur perusahaan.

Namun, kita tahu bersama. Bahwa VOC akhirnya bubar pada tanggal 31 Desember 1799 dengan meninggalkan utang sebesar 136,7 juta gulden. 

Ada beberapa alasan di balik kejatuhan VOC.

Di antaranya adalah korupsi di kalangan pejabat VOC di berbagai cabangnya. Di samping biaya yang besar untuk perang dan upaya melawan raja-raja lokal di Nusantara. (Masri Sareb Putra, M.A.)
Bersambung....

Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url