Rahasia Kamar Pengakuan Dosa

 Cerpen: R. Masri Sareb Putra

SEUTAS jalan setapak membentang berkelok-kelok. Ditumbuhi rumput liar di sekitar. Jalan itu terbentang di hadapanku. 

            Jalur itu licin di musim hujan. Celah-celah batu merah masih menampakkan bekasnya karena baru saja disendok perkakas raksasa bernama traktor.

Matahari baru saja tergelincir pada ujung senja. Saya merasa dahaga. Hanya embusan angin sepoi-sepoi menerpa sekujur tubuh dan wajahku yang sanggup membuatku bertahan belum hendak pulang dari tempat ini.

Sesekali kulempar pandang jauh ke muka: seonggok gunung yang perutnya menyimpan kekayaaan luar biasa. Aku tahu ayahku dulu membeli tanah ini murah. Dan aku terpanggil untuk menjadikannya rahmat bagi seluruh penghuni, kaum terpinggir yang senantiasa menyisa harapan bagi datangnya Sang Mesias.

Di sini, dalam temaram malam, bunyi serangga adalah sahabat sejati. Orang akan belajar menjadi manusia ketika menghampakan diri. Untuk menghayati kemanusiaan, aku datang ke tempat ini. Sebuah panggilan melebihi apa pun: mengungkap misteri di balik kematian demi kematian penduduk sederhana yang menyuarakan keadilan. Yang dianggap melawan kekuasaan bernama perusahaan sawit.

Sebenarnya, tak ada urusan aku mengungkap misteri ini. Aku toh bukan polisi. Bukan pula detektif. Aku hanya seorang pastor yang pulang ke desa, ke rumah orang tua untuk cuti. Tapi sangat ingin ke sini, entah apa yang memanggilku. Seperti magnit yang begitu kuat menarik. Ke tanah tempat aku di masa kecil sering bermain tentara-tentaraan, atau mengejar layang-layang yang putus benang.

Ini bukan peristiwa pertama. Hampir tiap bulan peristiwa sama terjadi. "Jangan, pastor. Jangan sekali-kali ke tempat itu!" kata seorang keluarga ketika aku pamit. Belum sempat kujawab, ia menyela, “Tempat angker. Tuhan mengirim Lucifer mencabut nyawa orang yang melawan perusahaan!"

Di malam hari. Pabila dentang jam membunyikan sunyi, tandanya fajar menyingsingkan pagi. Mata menatap ke tubir langit yang terbuka. Semoga melihat bintang yang menuntun kaki seperti ketika para majus tiba.

Bintang terang yang berbinar di langit sama ketika Ia datang ke dalam dunia masuk ruang dan waktu manusia meski Ia sudah ada sebelum dunia dijadikan. Dalam terang, ada suara bernyanyi seperti diiringi nafiri.

Kadang kusesali keputusan konyol: mengapa dulu mau ditahbiskan imam? Apa yang kurang dari keluargaku? Ayah seorang pensiunan tentara. Di hari tuanya, ia memang hidup sederhana meski tak kekurangan. Tanah warisannya ratusan hektar. Kini jadi ladang sawit. Tiap bulan mendapat hasil dari plasma, meski tak sebanding dengan nilai tanahnya yang dicaplok perusahaan dengan ganti rugi tidak sebanding.

Dan kini aku berada di ladang sawit yang tanahnya milik ayah. Meminggirkan motor Suzukiku yang blepotan dengan lumpur. Mendinginkan mesinnya. Mendinginkan suasana hatiku yang bergejolak oleh rasa ketidakadilan. 

***

Nikmati cerpen lain Rumah Kontrakan

SATU peritsiwa baru terjadi di ladang sawit ini. Jingku, ketua kelompok tani kampung itu, ditemukan setelah tiga hari dinyatakan hilang. Penduduk menemukan jasadnya sudah berurai air dan belatung-belatung gendut bergelimangan mengerubung di sekitarnya.

Ini bukan peristiwa pertama. Hampir tiap bulan peristiwa sama terjadi. "Jangan, pastor. Jangan sekali-kali ke tempat itu!" kata seorang keluarga ketika aku pamit. Belum sempat kujawab, ia menyela, “Tempat angker. Tuhan mengirim Lucifer mencabut nyawa orang yang melawan perusahaan!"

Tuhan mengirim Lucifer? Melawan perusahaan? Berbagai pertanyaan berkecamuk di otakku.

Tapi tekad sudah kubulatkan: ingin bertemu Lucifer yang dikirim Tuhan. Ingin menyaksikan cara Lucifer menghabiskan orang yang melawan perusahaan.

***

GULITA menjemput senja. Serangga malam mulai berbunyi. Hanya ada keheningan di kebun sawit yang mahaluas itu. 

            Dari kejauhan. Tampak bayang hitam seperti punggung setan. Jubahnya hitam dengan tombak tajam tiga mata di tangan. Ujungnya mengarah kepadaku.

            Samar, dalam gulita, terlihat seseorang datang. Sosoknya mungil. Sama sekali tidak seperti setan yang sering digambarkan orang. Wajahnya hitam dibungkus topeng. Namun, tangannya yang sedikit kerempeng, menggenggam selaras pistol.

            “Siapa Saudara?” ia bertanya dengan suara parau.

            Srrrr! Darahku serasa berhenti mengalir. Sekujur tubuh terasa kaku. Jantung serasa berhenti memompa seluruh suplai oksigen ke segenap penjuru badan. Aku benar-benar lemas mendengar suara itu. Bukan karena bentakannya, melainkan karena aku mengenal betul si pemilik suara.

            “Sebut siapa Saudara!” sekali lagi ia memperingatkan. “Atau ini yang berbicara,” katanya seraya mengacungkan laras pistol. Ia tembakkan sepelor. Terasa timah panas itu merobek sudut atas kap jubahku. Kami, para Kapsusin yang dikenal dengan Ordo Saudara Dina, jubahnya ada penutup kepala yang bentuknya runcing menutup kepala. Karena itu disebut Kapusin, dari “cap” atau caput dalam bahasa Latin. Kain cokelat kehitaman tebal itu selalu ada dalam ranselku. Ia multifungsi. Selain siap dipakai waktu misa yang hanya dilingkari stola, jubah ini juga sebagai selimut di waktu dingin membekap seperti saat ini.

            “Kau setan penunggu tempat ini ya?” ia bertanya. Aku baru sadar, di antara bayang dan keremangan, akulah atau kamilah yang dilihat orang sebagai ujud setan. Meski isinya seorang pastor sederhana dengan tri-sumpah setia: kemiskinan, ketaatan, dan kemurnian.

            Merasa terpojok, dan bisa-bisa mati konyol ditembusi timah panas karena dikira setan dan pengacau kebun sawit, aku pun memberanikan diri. “Lihat jubahku.Aku Pastor Markus!”

                        “O, o… Pastor Markus. Mea culpa, mea culpa, mea maxima culpa!” katanya seraya berlutut sembari tiada henti menepuk dada.    “Bunuh, aku, pastor, bunuuuuh!”

Ia menyodor selaras postol padaku untuk ditembakkan ke arahnya. Aku hanya bisa melongo.

“Aku seorang pendosa. Tak ada guna hidup di dunia ini lagi!”

Aku masih melongo. Tak tahu harus berbuat apa. Kata-kata sama aku dengar di ruang pegakuan dua minggu lalu. Jelang Natal, biasanya banyak kakap datang ke ruang pengakuan dosa. “Kakap” adalah istilah di antara kami, para imam, untuk menyebut pendosa besar yang bertobat.

            Tapi kami memegang teguh janji suci di hadapan umat dan Tuhan untuk tidak mengatakan kepada siapa-siapa, apalagi kepada aparat kepolosian, pendosa dan dosa yang dilakukan. Itu sumpah jabatan.Seraya berharap akan kasih Allah yang mengalir sebagai sungai, si pendosa tidak mengulangi perbuatan itu lagi. Karena itu kami, dalam nama Tuhan, memberi kepada “absolusi” atau pengampunan pendosasesuai Injil Matius  6:14-15.

***

MALAM diam dan bintang terang. Aku berusaha tenang. Bagaimapun, yang tersungkur di mukaku kini pendosa yang aku kenal betul: Paulus Sabilah.  Ia satpam paruh-waktu di perusahaan sawit dan hampir tak pernah mangkir misa pagi di gereja.

            “Dan kamu, apa yang kau akukan sebagai dosa?” aku masih mengingat pertanyaan yang kuajukan padanya dua minggu jelang Natal di ruang pengakuan.

            “Aku telah membunuh orang di ladang sawit,” akunya.

Aku jadi ingat, pada zaman kompeni Belanda, satpam pribumi dipersenjatai secara diam-diam untuk menghabisi pengritik dan lawan-lawannya. Terutama mereka yang dianggap sebagai penghalang bagi kemajuan maskapai dan onderneming (perkebunan) milik kompeni.

Sejarah selalu berulang dengan modus sama. Kini, perusahan perkebunan sawit yang pemiliknya dari tanah jauh dan asing, melarang penduduk setempat menanam sebatang sawit pun di negerinya sendiri. Apalagi jika berani menuntut tanah yang telah mereka serobot, akan lenyap tanpa ada yang tahu modusnya.

Malam diam dan bintang terang. Sesak napas rasanya menyimpan rahasia ruang pengakuan. Haruskah kulapor pada polisi? Atau kusimpan sendiri sebagai rahasia jabatan?

***

Tangerang, awal Juni 2016.

Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url