Mispersepsi Orang Luar terhadap Ladang Orang Dayak


 SANGGAU NEWS: DAYAK manusia alam. Yang sadar-diri bagian dari makrokosmos. Sedemikian rupa, sehigga memandang alam semesta ini sebagai sumber kehidupan. Sedemikian rupa, sehingga alam ini mesti tetap lestari, dijaga, dipelihara, serta dinapasi sepanjang masa.

Demikian intisari temuan dua penulis Dayak ini: Prof. Dr. Suriansyah Murhaini, S.H., M.H. dan R. Masri Sareb Putra, M.A. 

Kedua penulis menempatkan Sistem Peladangan Suku Dayak: Dahulu, Kini, dan Masa Depan dalam konteks manusia dalam relasinya dengan alam semesta.

Sudah tentu, bicara soal ladang dan Dayak maka konteks alamnya adalah Kalimantan, "Pulau Dayak", dengan luas 539. 460 kilometer persegi.

Mispersepsi orang luar terhadap ladang Dayak

Pada era milenial, seperti ketika waktu ini. Di mana segala data dan informasi berserakan di sekitar kita, masih banyak orang terutama yang di luar mispersepsi tentang orang Dayak. Terutama mengenai praktik dan sistem peladangan di kalangan sukubangsa penduduk asli bumi Borneo yang ditengarai populasinya berjumlah tidak kurang dari 8 juta jiwa itu.

 Tidak bisa tidak, apa yang disebut dengan “post truth” adalah suatu pemikiran atau konsepsi para cerdik cendekia yang dengan sengaja dibangun untuk suatu tujuan atau interest tertentu. Misalnya, bertujuan untuk mendapatkan atau menguasai kepemilikan lahan orang Dayak dengan mengembuskan bahwa peladangan yang beratus, bahkan beribu tahun lalu dipraktikkan orang Dayak, tidak menguntungkan ditinjau dari jumlah panenan padi dihasilkan yang hanya merusak lingkungan.

 Sudahlah tentu bahwa asumsi, atau tuduhan semacam itu, tidak berdasar dan terlalu prematur. Orang Dayak dikenal arif bijaksana. Hukum adat mereka menggariskan bahwa memanfaatkan kekayaan alam secukupnya saja, tidak boleh berlebihan, apalagi merusak tatatan kosmos. Konsep kearifan mengelola sumber daya alam dan hutan ini, dalam kaitannya dengan sistem peladangan, yang berusaha coba kami, Penulis, gali dan tulis secara apa adanya. 

Sebagaimana layaknya penelitian, objektivitas menjadi keharusan utama. Akan tetapi, dapat dikemukakan bahwa kedua peneliti dan penulis adalah melakukan penelitian secara partisipatif. 


Oleh karena itu, sudut pandang “orang dalam” tidak dapat untuk dihindarkan.


10 Tahap dalam berladang

Terdapat sepuluh pentahapan dari seluruh rangkaian sistem peladangan manusia Dayak, yakni:

  1. Memeriksa lahan,
  2. Menetapkan areal atau luas lahan
  3. Membersihkan/ menyucikan alat-alat atau perkakas untuk berladang,
  4. Menebas,
  5. Menebang,
  6. Membakar ladang,
  7. Menanam/ menugal,
  8. Merumput,
  9. Mengetam (panen),
  10. Melakukan upacara Syukur (Begawai). 

Seluruh rangkaian sistem peladangan tersebut adalah wujud dari kebudayaan.

Akan tetapi, sistem peladangan sebagai salah stau ujud kebudayaan orang Dayak tersebut, ternyata dalam faktanya banyak disalahmengerti dan kurang dipahami terutama oleh orang di luar Dayak. Hal itu terjadi karena kurangnya penelitian dan publikasi yang secara utuh menyeluruh yang menyoroti praktik peladangan yang dilakukan selama berabad-abad. 

Buku ini berupaya menjelaskan dan mendudukkan masalah menyangkut nilai-nilai adat dan tradisi dari sistem peladangan manusia Dayak.


Membakar ladang yang jadi sorotan, ini penjelasannya!


Dari sekian tahap peladangan orang Dayak itu, hal yang paling mencolok dan menarik perhatian orang adalah tahap 6, yakni membakar ladang. Camkan, membakar lahan ladang, bukan membakar hutan.


Cara orang Dayak membakar ladang mengikuti hukum alam, dengan memperhatikan arah angin. Mereka menjaga batas ladang mereka dengan hati-hati, terutama di perbatasan dengan lahan milik orang lain atau area di luar ladang mereka. Di sana, mereka memiliki kelompok penjaga yang siap dengan api dan alat pemadam seperti daun-daun yang dibasahi dengan air.


Praktik ini telah berlangsung selama berabad-abad tanpa masalah kebakaran yang signifikan sebelum masalah Karhutla menjadi populer, terutama sejak perkebunan besar-besaran seperti perkebunan sawit mulai masuk Kalimantan.


Orang Dayak menggunakan pembakaran ladang untuk memperkaya tanah dengan abu dan arang, membedakannya dari praktek di Jawa yang sering kali terjadi secara alami akibat letusan gunung berapi.


Namun, sayangnya, praktik berladang tradisional ini telah sering kali disalahartikan dan bahkan disalahkan atas kebakaran hutan yang lebih besar. Padahal, mereka telah mengikuti aturan alam dan menjaga praktik mereka dengan cara yang berkelanjutan sebelum dampak modernisasi dan perubahan lingkungan yang lebih luas terjadi.


Pustaka langka dan perlu


Di dalam struktur yang menjadi fokus, buku ini tidak hanya membahas gagasan inti tentang "Sistem peladangan suku Dayak", tetapi juga merambah topik yang sangat terkait dengan budaya dan pandangan dunia mereka. 


Selain membahas sistem peladangan, buku ini juga mengeksplorasi aspek-aspek lain yang mendalam, seperti asal usul manusia Dayak, konsep mereka mengenai alam semesta, pandangan mereka terhadap Sang Pencipta, serta konsepsi mereka tentang ladang yang dipenuhi dengan adat dan nilai-nilai tradisional.


Dalam buku ini, pembaca akan diantar untuk memahami betapa eratnya hubungan antara sistem ekonomi subsisten berbasis ladang dengan kosmologi dan keyakinan spiritual suku Dayak. 


Penelitian kedua penulis buku ini tidak hanya menggali teknik dan praktik peladangan, tetapi juga menyelami makna simbolis dan ritual yang melekat dalam setiap tahapan siklus ladang. Hal ini memungkinkan pembaca untuk mendalami kekayaan budaya dan kompleksitas spiritual suku Dayak, yang tercermin dalam cara mereka berinteraksi dengan alam, Sang Pencipta, dan sesama.

Kiranya buku semacam ini perlu terus ditambahkan dalam bilangan khasanah perpustakaan negeri ini. Utamanya, ditambahkan oleh para cerdik cendekia  “dari dalam” yang mengalami sekaligus menghidupi alam budaya dan nilai tradisi suku bangsa Dayak. Sedemikian rupa, sehingga perspektif orang Dayak mengenai dirinya sendiri menjadi berimbang untuk mengoreksi, menyeimbangkan, meluruskan sekaligus mengkaunter isu-isu miring yang tidak benar seputar cara berada (modus essendi) dan cara hidup (modus vivendi) manusia Dayak dahulu, kini, dan yang akan datang.

Pustaka ini boleh dikatakan “langka” dalam topiknya sebagai satu kesatuan konsep, filosofi, dan praksis manusia Dayak terkait topik kajian peladangan ini bermanfaat. 


Nyatanya, perhatikan peta Kalimatan! Dari masa ke masa, hijau tetap berada di lokus hunian orang Dayak. 

Apa artinya? Artinya, Dayak menjaga hidupnya. Menjaga alam dan lingkungannya. 


-- Herys Maliki




Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url