Ladang Orang Dayak

Oleh: Hendrikus Adam*)

BERLADANG disertai pengetahuan tradisional dan kearifan lokal, bukan merupakan suatu kejahatan. 

Karenanya, tidak tepat jika dilakukan pelarangan. Sebaliknya, apakah pelarangan (pembakaran) ladang itu sendiri bukan merupakan tindakan yang melanggar hukum? 

Terlebih lagi, pelarangan ini seringkali mengaburkan batas antara pembakaran untuk membersihkan ladang dan kebakaran serta pemusnahan lahan yang sering terjadi di konsesi perusahaan dan telah menyebabkan kerusakan gambut yang serius.

Saya ingin memulai dengan cerita ringan saat berjalan dan bertemu dengan warga di beberapa kampung beberapa waktu lalu. Salah satunya adalah percakapan santai dengan seorang ibu.

Pada siang hari kemarin (21/8), saya bertemu dengan seorang ibu yang juga merupakan istri seorang tetua adat. Saya bertujuan untuk bertemu dengan suaminya, yang ternyata tidak berada di rumah saat itu. Dalam percakapan singkat, saya mengajukan pertanyaan tentang apakah mereka sudah membakar ladang mereka.

Mendengar pertanyaan tersebut, ibu yang sambil menanam batang singkong di samping rumahnya segera memberikan jawaban yang pada dasarnya menyatakan bahwa karena musim panas yang panjang dalam beberapa waktu terakhir, mereka belum memutuskan untuk membakar ladang mereka.

Orang Dayak membakar ladang, hanya lahan miliknya. Dayak mewarisi kecerdasan alam (natural intelligences) lebih dari siapa pun tentang siklus berladang. Abu dan arang sisa pembakaran, jadi pupuk alami. Sebab Kalimantan bukan Jawa yang ada gunung apinya.

Dengan penjelasan yang diberikan olehnya, saya memahami apa yang dimaksud olehnya. Tentu saja, ada pertimbangan yang matang mengapa mereka belum membakar ladang. Tentu saja, ini bukan karena takut terhadap larangan itu. Sebaliknya, situasi musim panas yang panjang memberikan peluang yang lebih baik untuk hasil yang lebih baik jika ladang dibakar.




Sebelum membakar ladang, bukan membakar lahan, orang Dayak menyiapkan terlebih dahulu secara preventif cara tradisional memadamkan api yang berpotensi merembet keluar lahan.

Berladang, yang dalam komunitas tempat ibu tersebut tinggal, juga dikenal sebagai Bauma Tahutn, tidaklah sejelas yang sering dianggap oleh beberapa pihak sebagai penyebab utama masalah asap.

Kegiatan ini telah dilakukan turun temurun dan telah menjadi bagian dari siklus kehidupan komunitas. Dikelola dengan pengetahuan tradisional dan kearifan lokal, sikap berhati-hati sebagai bagian dari antisipasi dan pengetahuan tentang cara melakukannya telah ada selama beberapa waktu. Jauh sebelum ada himbauan atau larangan, langkah-langkah antisipatif telah menjadi bagian dari komunitas tersebut.

Apa yang dilakukan oleh ibu tersebut dengan tidak terburu-buru membersihkan ladangnya melalui pembakaran adalah bagian dari pengetahuan, antisipasi, dan sikap berhati-hati. Tentu saja, ada langkah-langkah lain yang diambil saat pembakaran dilakukan. Ini termasuk membuat sekat pembakaran dengan membersihkan bagian tepi ladang yang mereka sebut sebagai "nataki'" atau membuat "panatak."

Selain itu, langkah-langkah antisipatif lainnya juga dilakukan, seperti melibatkan orang-orang di sekitar, menyiram bagian tepi ladang, membuat kolam, dan bahkan mengikuti petuah leluhur yang tidak selalu masuk akal. Yang menarik, mereka juga melakukan doa sebelum membakar untuk menjaga agar api tetap terkendali. Tentu saja, menjaga sikap berhati-hati yang disertai dengan kearifan leluhur ini sangat penting.

Setiap tempat adalah sekolah, dan setiap orang adalah guru. Kita dapat belajar di mana saja dan dari siapa saja. Itulah makna yang tersirat dalam kalimat pertama tersebut. Bagaimana dengan gambar ini?

Hutan ini memiliki berbagai jenis tumbuhan di sekitarnya dan merupakan sumber oksigen yang kita nikmati tanpa harus membayar. Udara bersih yang dihasilkan oleh hutan ini adalah gratis. Untuk mempertahankannya, kita hanya perlu menjaga alam sekitar kita dan tidak merusakkannya demi kepentingan sesaat.

Hutan yang terjaga juga merupakan sumber air bersih dan energi listrik bagi penduduk di sekitarnya. Air dari kawasan hutan ini mengalir langsung ke pemukiman tanpa perlu diambil secara langsung dari alam.

Bagi adik-adik yang terlihat dalam gambar ini, hutan ini adalah tempat yang menyenangkan. Mereka bisa bermain dengan bebas di sana dan sekaligus belajar mengenal berbagai jenis tumbuhan di sekitar hutan ini. 

Nah, apakah Anda ingin bergabung dan bermain di hutan ini juga? ^)

*) Penulis adalah pegiat dan pelestari lingkungan, tinggal di Kalimantan Barat.

Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url