10 tahapan peladangan masyarakat Dayak

Saat ini, pada bulan Agustus. Masyarakat Dayak tengah melaksanakan praktik pembakaran ladang sebagai bagian dari sistem peladangan tradisional mereka. Namun, penting untuk dicatat bahwa mereka tidak sedang membakar hutan secara sembarangan. 

Orang Dayak dengan bijaksana membentuk batas atau marka yang memastikan bahwa api tidak menyebar dan membahayakan lahan yang bukan ladang. Tindakan ini mencerminkan tanggung jawab dan kesadaran mereka terhadap lingkungan sekitar.

Isu Asap dan lingkungan
Selama masa pandemi Covid-19, fakta menarik muncul di Kalimantan yang memperlihatkan betapa pentingnya praktik peladangan yang bijaksana dan berkelanjutan yang dijalankan oleh masyarakat Dayak. Meskipun tetap melanjutkan kegiatan berladang, tidak ada laporan atau isu terkait kabut asap yang biasanya menjadi masalah serius di daerah ini.

Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat Dayak telah memahami secara mendalam dan menerapkan prinsip-prinsip yang telah diwariskan secara turun-temurun dalam sistem peladangan tradisional mereka. Para peladang dengan cermat menjaga praktik berladang agar tidak mengakibatkan dampak negatif seperti kabut asap yang bisa merusak kesehatan manusia dan lingkungan secara keseluruhan.

Rangkaian sistem peladangan ini mencerminkan budaya mereka. Kenyataannya sistem peladangan ini sering salah dimengerti dan kurang dipahami oleh orang-orang di luar komunitas Dayak. Ini disebabkan oleh kurangnya penelitian dan publikasi yang komprehensif yang mengulas praktik peladangan ini selama berabad-abad,

Salah satu kunci dari keberhasilan ini mungkin adalah pendekatan yang berfokus pada pengaturan dan pengawasan ketat dalam pelaksanaan peladangan. Masyarakat Dayak mungkin telah mengadopsi praktik seperti pembentukan batas atau marka yang menghindari penyebaran api ke luar area ladang, serta penggunaan teknik pembakaran yang lebih terkontrol untuk meminimalisir risiko kabut asap.

Selain itu, kerjasama dan koordinasi antara kelompok masyarakat Dayak, pemerintah daerah, dan lembaga lingkungan menjadi faktor kunci dalam mencegah isu kabut asap selama pandemi. Keberhasilan ini menegaskan pentingnya nilai-nilai kearifan lokal dalam menjaga keseimbangan antara kebutuhan manusia dan perlindungan lingkungan.

Pengalaman ini di Kalimantan selama pandemi Covid-19 mengilustrasikan betapa masyarakat yang memiliki pengetahuan dan pemahaman yang mendalam tentang lingkungan alam dapat secara efektif menjalankan kegiatan berladang tanpa merusak ekosistem secara berlebihan. Hal ini memberikan inspirasi bagi upaya pelestarian lingkungan dan keberlanjutan di masa depan, baik di Kalimantan maupun di wilayah lainnya.

Terkait dengan isu kabut asap, Kalimantan telah mencatatkan prestasi signifikan selama tiga tahun terakhir. Tidak ada laporan mengenai kabut asap yang menjadi permasalahan serius. Ini mengindikasikan bahwa para peladang Dayak menerapkan sistem peladangan secara bertanggung jawab dan sesuai dengan prinsip-prinsip kearifan lokal. Hal ini juga menunjukkan bahwa praktik peladangan tradisional yang dijalankan dengan penuh kebijaksanaan telah membantu mengurangi risiko kabut asap yang seringkali dikaitkan dengan pembakaran hutan yang tidak terkendali.

Di wilayah Kalimantan Barat, upaya untuk mengatur sistem peladangan telah diwujudkan dalam bentuk Peraturan Gubernur tentang Peladangan. Ini mencerminkan keseriusan pemerintah daerah dalam mendukung praktik peladangan yang berkelanjutan dan sejalan dengan prinsip-prinsip keberlanjutan serta perlindungan lingkungan. Langkah ini juga memberikan kerangka kerja hukum yang lebih jelas bagi peladang dalam menjalankan praktik mereka.

Secara keseluruhan, melalui pendekatan yang bijaksana dan tanggung jawab, masyarakat Dayak di Kalimantan telah memperlihatkan bagaimana sistem peladangan tradisional mereka tetap relevan dan berdampak positif terhadap lingkungan serta kesejahteraan mereka sendiri. 

Dengan adanya regulasi dan kesadaran masyarakat, praktik peladangan dapat terus dijaga dan ditingkatkan agar tetap berkontribusi pada keseimbangan alam dan keberlanjutan lingkungan.

10 tahapan peladangan masyarakat Dayak
Pada zaman milenial ini, seperti pada saat ini, di mana informasi dan data tersebar luas di sekitar kita, masih ada banyak orang, terutama di luar kelompok orang Dayak, yang memiliki pemahaman yang salah tentang mereka. Terutama terkait dengan praktik dan sistem peladangan di kalangan penduduk asli Borneo yang jumlahnya diperkirakan tidak kurang dari 7 juta orang. 

Tidak dapat dihindari, istilah "post truth" mengacu pada gagasan yang disusun dengan sengaja oleh intelektual untuk tujuan atau kepentingan tertentu. Contohnya, tujuannya bisa saja untuk mendapatkan atau menguasai tanah milik orang Dayak dengan menyebarkan ide bahwa praktik peladangan yang telah berlangsung ratusan, bahkan ribuan tahun yang lalu, dilakukan oleh orang Dayak dan merusak lingkungan serta hasil panen padi.

Namun, asumsi atau tuduhan semacam itu jelas tidak berdasar dan terlalu prematur. Orang Dayak terkenal sebagai individu yang bijaksana. Hukum adat mereka mengajarkan bahwa penggunaan sumber daya alam harus secukupnya, tidak berlebihan, dan harus memelihara keselarasan alam semesta. 

Konsep kearifan dalam mengelola alam dan hutan ini, terutama dalam konteks sistem peladangan, telah kami eksplorasi dan ungkapkan dengan objektivitas sebagaimana dalam penelitian. Namun, penting untuk diperhatikan bahwa baik peneliti maupun penulis terlibat dalam penelitian ini dengan partisipasi, yang artinya pandangan dari "orang dalam" sulit dihindari.

Ada sepuluh tahapan dalam sistem peladangan masyarakat Dayak, yaitu:
1) Pemeriksaan lahan,
2) Penentuan luas lahan,
3) Pembersihan alat-alat dan peralatan,
4) Penebangan,
5) Pembersihan lahan,
6) Pembakaran lahan,
7) Penanaman,
8) Merawat tanaman,
9) Panen, dan
10) Upacara Syukur (Begawai). 

Keseluruhan rangkaian sistem peladangan ini mencerminkan budaya mereka. Kenyataannya sistem peladangan ini sering salah dimengerti dan kurang dipahami oleh orang-orang di luar komunitas Dayak. Ini disebabkan oleh kurangnya penelitian dan publikasi yang komprehensif yang mengulas praktik peladangan ini selama berabad-abad.

Akan tetapi, kini sukubangsa Dayak telah literat. Mereka memiliki kecerdasan untuk mengatasi masalah serta memotong pantan (hambatan) dalam kehidupan sehari-hari. Penolakan serta tuntutan pembebasan atas para peladang Dayak di Sintang yang dihukum misalnya, menunjukkan Dayak tahu apa yang ia mau.*)

Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url